Hukum Nasyid Islami
Makna "Nasyid" ( النشيد )
Kata نشيد (nasyid) berarti رفع الصوت (mengeraskan suara), dan dari kata ini, diturunkan kata انشاد (yang maknanya: mengeraskan suara) dan kata الشعر (yang maknanya: syair/sajak) yaitu meninggikan suara dengan memperindah intonasi dan melembutkannya.
Rangkaian kata-kata memiliki kekuatan dan pengaruh tersendiri, sama saja apakah rangkaian kata-kata tersebut ditulis atau diucapkan dengan lisan, sehingga jika rangkaian kata tersebut indah dan baik isinya, maka bagus pula efek dan buahnya. Sebaliknya, jika susunannya jelek dan maknanya buruk maka tidak baik pula nilainya.
Kadang-kadang kata yang diucapkan dengan lisan itu lebih kuat daripada kata yang tertulis, karena kata yang diucapkan menggabungkan dua kesan sekaligus yaitu kesan dari kata-kata itu sendiri dan kesan dari orang yang mengucapkannya yang telah terpengaruh oleh kata-kata tersebut. Sehingga bila kata-kata yang diucapkan itu adalah sebuah syair/sajak/puisi maka kesan yang ditimbulkan akan menjadi semakin dalam dengan sebab adanya not/irama syair itu dan keteraturannya.
Nasyid Islami dapat dikelompokkan manjadi 3 jenis:
1. Nasyid-nasyid Islami yang isinya lantunan suara penyanyinya saja tanpa diiringi alat musik apapun (nada murni).
2. Nasyid-nasyid Islami yang diiringi rebana.
3. Nasyid-nasyid Islami yang diiringi alat-alat musik.
Nasyid-nasyid ini bercerita tentang kecintaan kapada Alloh Azza Wa Jalla dan kecintaan kepada Rasulullah saw, tafakkur tentang kecintaan kepada Allah, kecintaan kepada kedua orang tua, kecintaan kepada tanah air, dan kemuliaan akhlaq. Selanjutnya, nasyid jenis pertama, apabila maksud dan kandungan maknanya halal, maka hukumnya pun halal. Kemudian karena alat-alat musik selain rebana dan genderang perang itu haram, maka untuk nasyid jenis ketiga pun haram pula hukumnya. Oleh sebab itu, ulama berselisih pendapat tentang hukum nasyid jenis ketiga antara mubah atau haram.
Dalil-dalil para ulama yang mengharamkan nasyid islami:
1. Kaidah usul fiqih saddudz dzara'i' (menutup celah utk berbuat maksiat)
Karena mendengarkan nasyid-nasyid Islami yang tidak menyerupai lagu-lagu dan klub-klub penyanyi pada umumnya itu merupakan celah/ penuntun kepada mendengarkan nasyid-nasyid yang menyerupai lagu-lagu umum.
2. Nasyid-nasyid itu merupakan salah satu bentuk tradisi sufi, sedang dalam tradisi tersebut terdapat unsur penyelisihan syariat. Akibatnya, maka nasyid Islami juga dilarang
3. Bila hal ini tidak termasuk petunjuk Nabi saw. dan tidak pernah dikenal oleh pokok generasi-generasi yang diakui kualitasnya dan telah mem-fatwakan ketidakbolehannya banyak ulama diantaranya Muh. Nashiruddin Al-Albani, Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin dan Shalih Al-Fauzan, maka kesimpulannya adalah bahwa nasyid-nasyid Islami merupakan bid'ah dalam agama yang menyerupai bid'ah orang-orang sufi.
4. Termasuk bukti yang sangat kuat adalah ketergantungan para pemuda yang hobi mendengarkan nasyid-nasyid tersebut dan keterlewatbatasan mereka dalam mendengarkannya sehingga hal itu melalaikan manusia dari mencari ilmu yang bermanfaat, khususnya para personil grup nasyid yang dituntut untuk menghafal lirik-lirik nasyid yang akan dibawakannya, menguasai melodi yang pas yang telah diciptakan untuk nasyid tersebut, menghadiri latihan-latihan/gladi-gladi, dan lain-lain. Pada gilirannya nanti, ketergantungan para pemuda itu kepada nasyid mengakibatkan mereka terlalu tersibukkan dengan urusan nasyid melulu. Syeikh Al-Albani mengatakan, "Kita melihat pemuda-pemuda muslim terlenakan dengan nasyid-nasyid religi dan mereka bersenandung dengannya. Hal itu telah memalingkan mereka dari mementingkan tilawah Al-Qur'an, dzikrullah, bershalawat kepada Nabi saw. Maka kewajiban pemuda muslim sebenarnya adalah mendendangkan ayat-ayat Al-Qur'an dan selalu bersenandung dengannya untuk selamanya.
5. Menyerupai orang-orang yang tak bermoral dalam irama lagu-lagu mereka. Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, "Nasyid-nasyid Islami, aku telah mendengarnya dari dulu dan tidak ada sesuatu yang membikin benci, tapi yang akhir-akhir ini aku mendengarnya dan aku dapati nasyid telah diaransemen dan dinyanyikan layaknya lagu-lagu yang diiringi musik. Nasyid-nasyid yang seperti ini aku tidak berpendapat bahwa orang boleh mendengarkannya."
6. Menyerupai orang-orang kafir karena sebab-sebab berikut ini:
a. Digubahnya nasyid-nasyid tersebut menurut not-not/nada-nada musik yang datang kepada kita dari orang-orang kafir.
b. Dimasukkannya nasyid-nasyid tersebut dalam urusan agama menyerupai orang-orang nasrani dalam menjadikan agama mereka sebagai paduan suara dan irama lagu yang dinyanyikan.
c. Menyerupai mereka dalam hal berpaling dari Al-Qur'an, sebagaimana Alloh Ta'ala mengabarkan tentang mereka dalam Kalam-Nya Ta'ala:
وَ قَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَسْمَعُوا لِهَذَا الْقُرْآَنِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ (26) فصلت.
"Dan orang-orang yang kafir berkata, "Janganlah kamu mendengarkan Al-Qur'an ini (saat dibacakan) dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka."
7. Menimbulkan fitnah karena suara-suara yang merdu. Bukan rahasia lagi bahwa produser nasyid akan memilih suara yang bagus dan merdu agar bisa berkesan bagi pendengar nasyid. Tak jarang yang dipilih untuk menyanyikannya adalah anak kecil atau remaja ABG yang bisa memperbesar fitnah dan mengobarkan apinya, lebih-lebih lagi apabila suaranya terekam dalam pita gambar (VCD/DVD) atau terlihat performanya secara langsung (live concert). Para ulama pada zaman dulu dan sekarang telah memperingatkan akan bahaya fitnah suara-suara merdu dan ketergantungan padanya.
8. Diiringinya nasyid tersebut dengan berbagai alat musik, seperti rebana pada saat tidak bertepatan dengan hari Ied atau perayaan pernikahan, dan dimainkan oleh para lelaki.
9. Membiasakan para penikmatnya untuk mendengarkan lagu-lagu yang majin (tidak serius).
10. Disandarkannya nasyid kepada Islam padahal Al-Islam tidak pernah mensyariatkannya.
11. Penggunaan nasyid sebagai media untuk mengkampanyekan partai.
12. Nasyid dianalogikan dengan bertepuk tangan dan bersiul.
Dalam sebuah jawaban dari satu pertanyaan tentang nasyid-nasyid Islami, dan sesudah menyebutkan pentingnya kembali kepada Al-Kitab (Al-Qura'n) dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman para salafus shalih, Syaikh Al-Albani bertutur, "Tiap orang yang mengkaji kitab Allah, Hadits Rasulullah saw. dan manhaj yang dipegang oleh salafus shalih, tidak akan mendapati sama sekali apa yang mereka namakan sebagai nasyid religi ini, meskipun nasyid-nasyid tersebut berbeda dengan nasyid-nasyid lama yang di dalamnya terdapat sanjungan yang berlebihan terhadap Rasulullah saw."
Syeikh Ibnu Utsaimin menuturkan, "Nasyid-nasyid Islami merupakan nasyid bid'ah yang menyerupai apa yang diada-adakan oleh orang-orang sufi. Inilah sebabnya ia layak untuk disingkiri dan kembali kepada nasehat-nasehat Al-Kitab dan As-Sunnah."
Beliau juga berkata, "Tentang nasyid-nasyid Islami ini, sejak semula aku tidak melihat bahwa orang bisa menjadikannya jalan untuk mengambil nasehat/pelajaran, karena asal nasyid adalah warisan orang-orang sufi sebab orang-orang sufilah yang telah menghimpun dzikir-dzikir mereka semisal nasyid-nasyid ini."
Syeikh Sholeh Al-Fauzan berkata, "Al-Islam tidak mensyariatkan nasyid-nasyid itu bagi kita. Sesungguhnya tiada lain dia mensyariatkan bagi kita dzikrullah, tilawah Al-Qur'an dan mempelajari ilmu yang bermanfaat. Adapun nasyid, maka itu merupakan agama orang sufi yang membuat bid'ah, orang yang menjadikan agama mereka sebagai permainan dan kesia-siaan, sedang menjadikan nasyid sebagai bagian dari agama termasuk perbuatan meniru orang-orang nasrani yang menjadikan agama mereka sebagai paduan suara dan irama-irama yang dinyanyikan. Maka kewajiban kita adalah waspada terhadap nasyid-nasyid ini, melarang jual beli nasyid dan mencegah peredarannya."
Dalil-dalil Ulama yang Membolehkan Nasyid Islami
Pembicaraan dalam masalah ini terpecah dalam tiga bagian:
Bagian pertama: Pokok permasalahan.
Salah satu ketetapan yang dibuat oleh ulama ushul fiqih adalah bahwa asal hukum dalam berbagai hal adalah mubah (boleh) dan tidak akan berubah menjadi haram, wajib, sunnah, ataupun makruh kecuali dengan dalil. Termasuk diantaranya nasyid-nasyid Islami ini, sebab asal hukumnya adalah mubah. Penetapan hukum ini berdasarkan beberapa dalil:
1. Asal hukum itu berlaku secara umum bagi segala sesuatu.
2. Tidak adanya dalil yang melarang nasyid
3. Dijumpainya hal tersebut dalam sunnah, sebab terdapat riwayat yang shahih bahwa Nabi saw. dan para sahabat yang mulia -mudah-mudahan Alloh meridloi mereka- telah mendengarkan syair, melantunkannya pada waktu mereka bepergian dan saat tidak bepergian, dalam majlis-majlis mereka, dan dalam berbagai aktivitas mereka dengan suara tunggal atau bersama-sama (koor).
Sebagian contohnya adalah:
1. Diriwayatkan dari Anas bahwa dia berkata, Rasulullah saw. keluar menuju khandaq (parit). Maka ternyata orang Muhajirin dan Anshar sedang menggali pada suatu pagi yang dingin. Pada waktu itu mereka belum dikaruniai budak-budak yang akan melakukan pekerjaan itu untuk mereka. Tatkala melihat kepayahan dan rasa lapar pada diri mereka beliau berkata: اَللّهُمَّ اِنَّ الْعَيْشَ عَيْشُ اْلآخِرَةِْ ... فَاغْفِرْ لِـْلأَنْصَارِ وَ الْمُهَاجِرَةِْ ...
Ya Allah, sesungguhnya kehidupan yang haqiqi adalah kehidupan akhirah … Maka berilah ampunan kepada orang-orang Anshar dan Muhajirah ….
Serentak mereka menjawab beliau secara berkata, "Kami adalah orang-orang yang membaiat Muhammad untuk berjihad selagi nyawa dikandung badan." [Muttafaqun 'alaih. –ed.]
2. Dua budak perempuan kecil menyanyi di Rumah Nabi.
Aisyah ra. berkata, Abu Bakar mengunjungiku, sedang di tempat-ku ada dua budak perempuan kecil dari budak-budak perempuan orang-orang Anshar. Keduanya sedang mendendangkan syair yang diucapkan orang-orang Anshar tentang perang Bu'ats. Aisyah ra. berkata, "Keduanya bukanlah biduanita." Lalu Abu Bakar menggertak, "Apakah pantas seruling-seruling setan ditiupkan di rumah Rasullah?" Padahal hari itu adalah hari 'Id. Lalu Rasulullah saw. bersabda, "Wahai Abu Bakar sesung-guhnya setiap kaum itu memiliki hari raya dan inilah hari raya kita."
'Aisyah berkata, "Rasulullah saw. masuk ke tempatku sedang di tempatku ada budak perempuan kecil sedang mendendangkan nyanyian Bu'ats, lalu beliau berbaring di atas tempat tidur dan beliau memalingkan wajahnya. Tiba-tiba Abu Bakar datang mengunjungiku, lalu dia membentakku, dia berkata, "Pantaskah seruling setan ditiupkan di hadapan Nabi saw?!" Maka beliau saw. datang seraya berkata, "Biarkanlah keduanya." Lalu saat beliau tidak memperhatikan, aku mencolek keduanya maka keduanya pun keluar (dari tempatku) dan hari itu adalah hari 'Id. Pada hari tersebut orang-orang berkulit hitam sedang bermain perisai dan belati/bayonet (bermain perang-perangan). Lalu entah 'Aisyah yang meminta kepada beliau saw atau beliau yang menawari, beliau bersabda, "Kamu ingin melihat?" Lalu dia 'Aisyah berkata, "Ya." Lalu beliau menyuruhku berdiri di belakangnya. Pipiku menempel dengan pipi beliau. Beliau bersabda, "Hati-hati wahai Bani Arfidah!" Ketika aku telah bosan beliau bersabda, "Sudah cukup?" 'Aisyah berkata, "Ya". Beliau bersabda, "Kalau begitu pergilah!" [Muttafaqun 'alaih. –ed]
3. Kisah Rubayyi' binti Muawwidz
Rubayyi' binti Muawwidz bin Afra' berkata, "Nabi saw. datang pada perayaan pernikahanku, lalu beliau masuk. Beliau duduk di atas selembar lemek seperti posisi dudukmu di hadapanku saat ini. Maka mulailah budak perempuan kecil kami memukul rebana, menyayikan lagu elegi bagi orang-orang yang terbunuh dari leluhur kami pada perang badar. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berdendang, "Di kalangan kami ada Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari." Maka beliaupun menegur, "Tinggalkan perkataan itu dan ucapkan apa yang kamu ucapkan sebelumnya." [HR. Bukhari –ed.]
4. Hadits tentang rebana, seperti sabda Rasulullah saw.:
فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ. (الصَّوْتُ أَيْ الذِّكْرُ وَالتَّشْهِيرُ
وَالدُّفُّ أَيْ ضَرْبُهُ فَإِنَّهُ يَتِمُّ بِهِ الْإِعْلَانُ)
"Perbedaan antara yang halal dan yang haram dalam pernikahan (antara lain adalah) tabuhan rebana dan suara." [HR Ahmad, Turmudzi, Nasa`I, dan Ibnu Majah, dari hadits Muhammad bin Hathib al-Jumahi ra.; hadits hasan. –ed.]
Asy-Syaukani berkata, "Dalam perayaan pernikahan boleh menabuh rebana dan meninggikan suara-suara nyanyian seperi perkataan: "Kami telah datang kepada kalian, Kami telah datang kepada kalian …".
5. Salamah bin Al-Akwa' ra. berkata, "Kami keluar bersama Nabi saw. menuju Khaibar. Lalu kami menempuh perjalanan pada suatu malam. Lalu berkatalah salah seorang dari rombongan tersebut kepada 'Amir, "Maukah Anda bersajak untuk kami perihal pengalaman Anda?" Amir adalah seorang penyair. Lalu iapun turun dan menuntut ontanya sambil berdendang untuk mereka: "Ya Allah, kalau bukan karena Engkau, kami tak kan pernah tertunjuki, tak kan bershadaqah, dan tak pernah melakukan shalat …." Lalu Rasulullah saw. bersabda, "Siapakah pengemudi onta (yang berdendang) ini?" Mereka menjawab: "Amir bin Akwa'." Beliau bersabda: "Mudah-mudahan Alloh merahmatinya." [Muttafaqun 'alaih. –ed]
6. Dari Anas ra., bahwa Nabi saw mendatangi istri-istri beliau sementara mereka sedang berkendaraan onta dengan disetir oleh seorang sopir yang biasa dipanggil 'Anjasyah'. Lalu beliau bersabda, "Celaka kamu, Anjasyah! Pelan-pelanlah dalam menyetir para wanita (penumpangmu) ini."
Dan hadits-hadis lain yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw mendengar nasyid dan beliau mentaqrirnya (mendiamkan dan tidak mengingkarinya).
Sesudah bahasan ini:
Sebagaimana ketetapan para ahli ushul fikih, perkara mubah mengambil hukum dari perkara-perkara yang diakibatkan darinya, baik itu wajib, haram, dan lainnya. Nasyid termasuk dari bagian perkara mubah ini, sehingga nasyid mengambil hukum dari perkara lainnya (yang menjadi efek dari nasyid), melalui salah satu dari tiga segi:
Pertama: segi kandungan makna.
Jika lirik/syair yang dilagukan mengandung bait-bait yang memiliki makna-makna yang tinggi dan etika yang mulia maka ia tidak mengapa, bahkan termasuk jenis syair/lirik yang bagus. Adapun bila keadaannya tidak seperti itu dan bahkan sebaliknya, maka syair itu haram untuk diucapkan, disajakkan, atau dilagukan. Pengharaman tersebut bukan karena dzatnya sendiri, tetapi lantaran kandungannya menyelisihi perkara yang utama dan menyalahi adab.
Kedua: segi apa yang mengiringinya.
Syair/lirik lagu tersebut apabila diiringi alat permainan atau perangkat musik baik dari pelantunnya sendiri ataupun orang lain maka, hukumnya haram. Pengharamannya lantaran sesuatu yang mengiringinya itu.
Ketiga: segi akibat yang ditimbulkan dan efek yang diciptakan.
Para penulis lirik lagu berbeda-beda dalam menyisipkan pesan syair-syair mereka. Diantara mereka ada yang memasukkan pesan moral yang tinggi dan agung dan ada pula yang mewarnainya dengan nilai-nilai yang rendah lagi hina. Dari dua macam pesan inilah diketahui nilai syair atau lirik tersebut sesudah didengarkan. Karenanya jika nasyid tersebut menghantar-kan ke gerbang kesempurnaan budi pekerti dan mampu menjadikan pendengarnya menapaki jalan adab, maka alangkah cantik nasyid tersebut untuk diucapkan, didengarkan, dan didendangkan. Namun jika sebaliknya, maka jangan sekali-kali berinteraksi!
Bagian Kedua: Maslahat& kerusakan yang terdapat pada
nasyid-nasyid Islami.
Manakala masalah ini dicermati dari sudut pandang kaidah maslahat dan madharat, kita akan melihat bahwa masalah ini memiliki bagian besar dan porsi yang banyak di dalamnya. Maslahat yang dimunculkan nasyid-nasyid Islami banyak jumlahnya, melebihi dari apa yang diduga dan dianggap sebagai madharat. Adalah suatu kekeliruan bila sebagian penuntut ilmu memandang bahwa minoritas "madharat" dapat mengalahkan mayoritas "maslahat".
Sejumlah manfaat nasyid islami antara lain:
1. Mendengarkan nasyid merupakan relaksasi bagi jiwa.
2. Dengan adanya nasyid Islami maka tidak perlu mendengarkan lagu-lagu jahiliyah dengan lirik-lirik yang jorok.
3. Bait-bait yang terangkai dengan kata-kata yang mulia nan sarat makna yang dikandungnya cukup layak untuk didengar dan dipilih.
4. Nasyid-nasyid Islami merupakan sebuah cangkul yang dapat digunakan untuk menghancurkan kaset lagu jahiliyyah.
5. Merupakan tarbiyah bagi jiwa lantaran pesan moral dan etika yang terdapat di dalamnya.
Sedangkan sebagian dari madharat nasyid-nasyid Islami (dan sebe-narnya ini bukan apa-apa) antara lain:
1. Terlalu sering mendengarkannya dapat menjadi faktor pelalai dari hal-hal yang lebih penting.
2. Pada sebagian nasyid ditemui irama-irama yang jorok, tapi ini jarang.
Bagian Ketiga: Perbedaan Kasidah Sufi & Nasyid Islami
Salah satu hal yang dianggap sebagai alasan bagi mereka yang melarang nasyid-nasyid Islami ini adalah keadaanya yang menyerupai kasidah sufi. Namun pemberian alasan ini sangat perlu ditinjau ulang. Justru diantara keduanya terdapat perbedaan yang mencolok yang membuat keduanya tidak bisa dibandingkan dan diserupakan.
Ya, antara dua tradisi tersebut ada kemiripan dalam dua hal:
1. Bahwa keduanya merupakan syair yang bersajak, yang diatur bunyinya.
2. Melodi/irama yang ada pada keduanya.
Sedang perbedaan antara keduanya terlihat dari dua segi:
1. Segi kandungan/isi
Kasidah sufi biasanya berisi dua perkara yang sekaligus cukup untuk men-
jelaskan perbedaan tersebut, yaitu:
1) Kesyirikan dan bid'ah dalam bait-bait lirik lagu mereka. Tidak ada yang lebih jelas menunjukkan hal itu daripada kasidah burdah ciptaan Al-Bushiri.
2) Kefasikan dan kecabulan seperti cumbu rayu dan pemujaan. Sementara itu nasyid-nasyid Islami bersih dari yang demikian itu alhamdulillah, bahkan mencakup nilai-nilai yang luhur, akhlaq yang tinggi, dan etika yang sempurna.
2. Pelaksanaan/praktek
Kasidah sufi dan nasyid Islami mempunyai kesamaan dalam hal bahwa keduanya merupakan syair/sajak yang dilagukan. Namun kasidah-kasidah sufi berbeda dengan nasyid-nasyid Islami dari segi adanya tangisan dan ratapan.
Untuk memperkuat kontrol-kontrol yang sangat diperhatikan dalam masalah nasyid-nasyid Islami, Ibnu Rajab As-Salafi menyebutkan syarat-syarat berikut ini:
1. Tidak mempergunakan alat-alat musik yang diharamkan untuk mengiringi nasyid.
2. Tidak berlebihan dalam nasyid dan tidak menjadikannya kebiasaan seorang muslim sehingga membengkalaikan berbagai tugas dan perkara-perkara yang menjadi kewajibannya.
3. Tidak boleh dilantunkan oleh suara perempuan.
4. Tidak boleh disisipi perkataan yang diharamkan atau tidak sopan.
5. Tidak menyerupai irama-irama lagu orang-orang fasiq dan orang-orang yang tidak bermoral.
6. Bersih dari efek-efek suara yang menghasilkan suara-suara seperti suara-suara alat-alat musik.
7. Diusahakan supaya nasyid tidak memiliki suatu tehnik tertentu yang menjadikan pendengarnya bisa meniru melagukannya dan mem-buatnya terfitnah, layaknya orang yang mendengarkan nyanyian-nyanyian pada umumnya.
Dewan Fatwa Lajnah Da`imah [di Arab Yaudi. –ed.] menilai bahwa nasyid-nasyid tersebut bisa menjadi alternatif yang syar'i sebagai pengganti dari nyanyian yang diharamkan, sebab dinyatakan dalam fatwa-fatwanya: "Anda boleh mengganti lagu-lagu ini dengan nasyid-nasyid Islami karena di dalamnya terkandung hikmah-hikmah, nasihat-nasihat dan ibrah-ibrah yang dapat mengobarkan semangat dan gairah beragama, menggerakkan sentimen keislaman, serta menjauhi keburukan berikut hal-hal yang mengarah kepadanya. Nasyid-nasyid itu dapat membangkitkan jiwa orang yang menasyidkannya dan orang yang mendengarkannya untuk taat kepada Alloh dan dapat memunculkan rasa benci untuk berbuat maksiat kepada-Nya Ta'ala, dan menerjang batas-batas-Nya, untuk kemudian berlindung di bawah naungan syariat-syariat-Nya, dan berjihad di jalan-Nya."
"Namun sudah selayaknya hal itu tidak dijadikan sebagai wirid bagi jiwa sehingga selalu ditelateni olehnya, atau dijadikan rutinitas yang senantiasa dikerjakan, tetapi hendaknya dilakukan kadang-kadang, saat ada kesempatan-kesempatan khusus dan situasi-situasi yang mendorong untuk bernasyid seperti perayaan penikahan, safar untuk berjihad, dan semisalnya, saat semangat mengendur untuk memotivasi diri dan membangkitkannya agar mau berbuat kebaikan dan sewaktu jiwa cenderung kepada kejelekan, hati terasa mengeras, supaya ia jera dan benci terhadapnya."
"Namun adalah lebih baik dari itu bila ia selalu mentargetkan dirinya untuk mengambil satu hizb (bagian) dari Al-Qur'an yang dibacanya setiap hari [minimal 1 juz untuk non santri dan 2 juz untuk kaum santri pesantren; bagi yang telah lancar. –ed], dan wirid dari dzikir-dzikir Nabawi yang shahih, sebab hal itu lebih mensucikan jiwa, lebih membersihkan, dan lebih kuat efeknya dalam melonggarkan dada dan menenangkan hati."
Alloh Ta'ala menegaskan:
اللّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللّهِ ذلِكَ هُدَى اللّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَ مَنْ يُضْلِلِ اللّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ (23) الزمر.
"Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang; gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabb mereka, kemudian menjadi tenang lagi kulit dan hati mereka di waktu disebut (janji-janji menggembirakan dari) Alloh. Itulah petunjuk Alloh yang dengannya Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pun yang (dapat) menunjuki."
Alloh Subhana Wa Ta'ala juga menegaskan:
الَّذِينَ آَمَنُوا وَ تَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ (28) الرعد.
"(Orang-orang yang kembali kepada Alloh yaitu) orang-orang yang beriman dan dengan mengingat Alloh hati mereka manjadi tenteram. Ingatlah, hanya dengan mengingat Alloh-lah hati menjadi tenteram."
"Adalah kebiasaan dan keadaan para sahabat ra. mengindahkan Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan cara menghafal, mempelajari, dan mengamal-kannya, dan bersama itu mereka juga memiliki nasyid-nasyid dan hida' (nyanyian-nyanyian pengemudi onta/nyanyian penggembala) yang mereka dendangkan pada kesempatan-kesempatan tertentu semisal menggali parit, membangun masjid, dalam perjalanan mereka menuju medan jihad, dan saat-saat lainnya, tanpa menjadikannya sebagai trade mark (cap) mereka dan tidak menjadikannya sebagai obsesi tertinggi dan curahan perhatian mereka. Akan tetapi nasyid bagi mereka merupakan salah satu hal yang bisa menciptakan kedamaian pada jiwa mereka dan mengobarkan semangat mereka." (Silakan tinjau tentang fatwa ini selengkapnya di dalam kitab "Fatawa Al-Islamiyah Li Ashhabil Fadlilah Ulama'" yang dihimpun dan disusun oleh Muhammad bin Abdul Aziz al-Musnid: 4 /533)
Syaikh Ibnu Bazz berkata:
"Bila nasyid-nasyid itu sehat, dalam artian tidak ada di dalamnya kecuali seruan kepada kebaikan, peringatan untuk berbuat baik dan taat kepada Alloh dan Rasul-Nya, dan seruan untuk menjaga tanah air dari musuh dan bersiap untuk menghadapi musuh dan yang semisal itu, maka itu tidak mengapa. Adapun bila isinya selain itu, mengajak untuk berbuat maksiat, berikhtilat antara laki-laki dan perempuan atau menyingkap aurat perempuan di hadapan mereka atau perbuatan rusak apapun lainnya, maka mendengarkannya hukumnya tidak boleh."
Tarjih (menilai pendapat terkuat):
Sesudah mengkaji dalil-dalil dari kedua belah pihak, aku menilai bahwa dalil-dalil para ulama yang membolehkan nasyid-nasyid Islami lebih kuat. Karena itu aku membenarkan pendapat bahwa nasyid-nasyid Islami dengan syarat-syarat yang telah disebutkan adalah mubah.
Khulashah (kesimpulan akhir):
Setelah menyelesaikan kajian yang kumemohon kepada Alloh supaya Dia berkenan menerima amalanku dan menempatkannya dalam timbangan amal kebajikanku ini, kita dapatkan keharaman alat-alat musik selain rebana dan genderang perang berdasarkan dalil-dalil yang kuat.
Harapanku kepada Alloh:
1. Semoga banyak orang yang peduli terhadap masalah vital yang menyangkut kepentingan umum ini. Hal itu bisa dilakukan dengan cara membuat brosur-brosur kecil yang diedarkan di khalayak karena banyak sekali masyarakat yang belum mendapatkan informasi tentang keharaman musik dan tidak mengetahui hadits-hadits yang mengupas masalah tersebut. Aku mengharapkan Dr. Hisamuddin Affanah [dosen penguji bagi makalah ini. –ed.] untuk mengurusi penulisan brosur ini.
2. Dicurahkan perhatian yang besar terhadap komunitas remaja putri dan putra yang masih dalam usia belajar, sebab umat tidak akan menjadi kuat kecuali lantaran pemuda-pemudanya. Bersikap concern terhadap komunitas ini penting sekali artinya. Hal itu dapat diwujudkan dengan memberikan mata pelajaran-mata pelajaran khusus di sekolah-sekolah dan melibatkan para tokoh bagi mereka dalam ruang pembelajaran.
3. Mengadakan alternatif bagi masyarakat awam [yaitu mereka yang menyukai lagu-lagu bermusik. –ed.] dan hal itu dapat dilakukan dengan menambah jumlah dan variasi nasyid-nasyid Islami [dengan memenuhi syarat-syarat yang telah dikupas di muka. –ed.] yang sekelompok orang belum mengetahui bahwa itu tidak mengapa.
4. Dicurahkan perhatian yang besar terhadap fakultas dakwah. Hal itu dapat dilakukan dengan cara menuntut para mahasiswa dan mahasiswinya untuk menyiapkan laporan studi yang bertemakan musik dan nyanyian, karena setiap pribadi di dalamnya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Alloh atas setiap amalan yang dia kerjakan dan setiap kata yang dia ucapkan karena kedudukannya sebagai tauladan bagi manusia.
Sebagai kata penutup, siapapun yang mampu menyingkir dan menghindar dari mendengarkan musik di zaman yang sarat dengan ujian ini, maka sabda Rasulullah saw berikut ini mencakup dirinya:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ رَسُولُ اللّهِ: يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ.
Anas bin Malik ra. berkata, "Rasulullah saw. bersabda, "Akan datang kepada manusia satu masa, di mana orang yang bersabar dalam memegang teguh agamanya bagaikan orang yang menggenggam bara." [HR Turmudzi, dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dengan adanya banyak hadits syahid yang memperkuatnya. –ed.]
Semoga shalawat dan salam yang banyak dari Alloh tetap tercurah kepada panutan kita Muhammad saw, keluarga, dan para sahabat beliau. Âmîn.
Penulis: Sima Rotib Adnan Abu Romuz.
Sepervisi: Dr. Hisamuddin Affanah. (Al-Quds, Palestina, 1426 H – 2005 M)
Penerjemah: Akhawâtunâ. Editor: AZ. Solo.
ALHAMDULILLÂHI RABBIL 'ÂLAMÎN.
2 komentar:
Semoga kita bisa mengikuti jejak nabi dalam menjalani kehidupan ini dan tidak terlena oleh keindahan lagu dan nyayian.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim no. 867)
Posting Komentar