Imam Syafi'i
A. Nama dan Nasab
Nama beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin as-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib. Imam Syafi’i bertemu nasabnya dengan Rasulullah pada Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah yang ketiga. Karena itu pula, beliau mendapat julukan al-Imam al-Muththalib al-Hasyimiy al-Qurasyi. Sedangkan ibunya berasal dari suku Azd.
Nama Imam Syafi’i ini dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama Syafi’i bin as-Saib, seorang sahabat kecil yang sempat bertemu dengan Rasulullah ketika masih muda. Diriwayatkan bahwa suatu hari Nabi saw berada di Fusthath, kemudian as-Saib bin Ubaid dan putranya (Syafi’i bin as-Saib) datang kepada beliau. Rasulullah memandangnya lalu bersabda : من سعادة المرء أن يشبه أباه (adalah suatu kebahagiaan bila seseorang mirip dengan ayahnya).
B. Tempat dan Tahun kelahiran
Ada banyak riwayat yang menerangkan tempat kelahiran beliau. Dalam riwayat Ibnu Abi Hatim dari Amr bin Sawad, ia berkata : “Imam Syafi’i berkata kepadaku, ‘Aku dilahirkan di Asqalan. Ketika aku berusia dua tahun, ibuku membawaku ke Makkah.’”
Al-Baihaqi menyebutkan dari Muhammad bin Abdillah, ia berkata : “Aku mendengar Imam Syafi’i berkata, ‘Aku lahir di Ghazzah lalu dibawa oleh ibuku ke Asqalan.’”
Dalam riwayat Ibnu Abi Hatim dengan sanad yang sampai kepada Abdullah bin Wahab, ia berkata : “Aku mendengar Muhammad bin Idris asy-Syafi’i berkata, ‘Aku dilahirkan di Yaman. Lalu, karena khawatir aku akan terlantar, ibuku berkata : “Temuilah keluargamu agar engkau menjadi seperti mereka, karena aku khawatir nasabmu akan terkalahkan.” Kemudian ibuku membawaku ke Makkah pada saat aku berusia 10 tahun.’”
Dari ketiga riwayat diatas, terdapat perbedaan mengenai tempat kelahiran beliau. Akan tetapi sebenarnya tidak ada pertentangan antara ketiga riwayat tersebut, karena Ghazzah adalah suatu daerah yang berada di Asqalan, Palestina. Ibnu Hajar menjelaskan : “Pendapat-pendapat ini dapat dipadukan, yaitu Imam Syafi’i lahir di Ghazzah, sebuah daerah yang berada di Asqalan. Ketika memasuki usia 2 tahun, ibunya membawanya ke Hijaz dan berbaur dengan penduduknya yang terdiri dari orang-orang Yaman, karena ibunya dari suku Azd. Ketika Imam Syafi’i berusia 10 tahun, ia dibawa oleh ibunya ke Makkah, karena ibunya khawatir nasabnya yang mulia itu lenyap dan terlupakan.”
Adapun mengenai tahun kelahiran beliau, ahli sejarah sepakat bahwa beliau lahir pada tahun 150 H, tahun wafatnya Imam Abu Hanifah. Imam al-Hakim berkata : “Saya tidak menemukan adanya perselisihan pendapat, bahwa Imam Syafi’i lahir pada tahun 150 H, tahun wafatnya Imam Abu Hanifah. Hal ini mengisyaratkan bahwa Imam Syafi’i menggantikan Imam Abu Hanifah dalam bidang yang digelutinya.”
C. Kehidupan dan Kegiatan belajar
Imam Syafi’i hidup di Ghazzah sebagai anak yatim setelah ayahnya meninggal, sehingga kesusahan berlipat menimpa beliau, yaitu; hidup sebagai anak yatim, fakir dan terasing dari keluarga. Namun kondisi ini tidak menjadikan beliau menyerah dalam menghadapi kehidupan ini. Setelah ibunya membawa beliau ke Hijaz, Imam Syafi’i mulai menghafal al-Qur’an dan berhasil menghafalkannya pada usia 7 tahun.
Imam Syafi’i bercerita : “Aku hidup sebagai anak yatim dalam asuhan ibuku. Ibuku tidak mampu membayar seorang guru untuk mengajariku. Tetapi guru itu ridha dan senang jika aku menggantikannya. Maka, setelah aku selesai menghafal al-Qur’an, aku hadir di masjid dan berkumpul dengan para ulama untuk menghafal hadits atau masalah agama, sementara tempat tinggal kami berada di jalan bukit al-Khaif. Pelajaran yang aku dapatkan di masjid itu aku tulis di tulang. Setelah banyak, tulang-tulang itu aku masukkan ke dalam bejana besar.” Beliau juga berkata : “Aku miskin, tidak memiliki harta, namun aku belajar sejak kecil. Untuk mendapatkan ilmu aku harus datang ke perpustakaan dan aku menulis ilmu-ilmu tersebut di bagian luar kulit yang kudapatkan.”
Imam Syafi’i begitu tekun belajar sehingga beliau mampu menghafalkan al-Qur’an pada usia 7 tahun, dan mampu menghafalkan kitab al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 10 tahun. Ketika berusia 15 atau 18 tahun, Imam Syafi’i dibolehkan mengeluarkan fatwa setelah keluasan ilmu beliau diakui oleh syaikhnya, Muslim bin Khalid az-Zanji. Beliau belajar al-Qur’an kepada Isma’il bin Qasthanthin.
D. Pengembaraan dalam mencari ilmu
1- Ke suku Hudzail
Setelah menghafal al-Qur’an di Makkah , beliau belajar sya’ir dan bahasa kepada suku Hudzail karena mereka adalah kabilah Arab yang paling fasih bahasanya. Imam al-Hakim menceritakan bahwa pada awalnya Imam Syafi’i belajar sya’ir, kemudian sejarah dan peperangan bangsa Arab beserta sastranya, setelah itu beliau belajar fiqih. Mengenai motivasi beliau dalam belajar fiqih, ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau belajar fiqih disebabkan sindiran seseorang dan riwayat lain menyebutkan bahwa beliau belajar fiqih karena disarankan oleh syaikh beliau, Muslim bin Khalid.
2- Ke Madinah
Sebelum berangkat ke Madinah (tahun 163 H) untuk menemui Imam Malik, beliau mempersiapkan diri dengan menghafalkan kitab al-Muwaththa’ yang beliau pinjam dari seseorang di Makkah. Setelah selesai menghafal, beliau meminta surat dari gubernur Makkah untuk diberikan kepada gubernur Madinah dan Imam Malik.
Sesampainya di Madinah, beliau memberikan surat tersebut kepada gubernur Madinah. Namun, gubernur Madinah mengatakan bahwa daripada menemui Imam Malik dia lebih memilih untuk menempuh perjalanan dari Madinah ke Makkah dengan berjalan kaki, karena jika gubernur mendatangi Imam Malik pasti mendapat perlakuan penghinaan, yaitu berdiri lama di depan pintu. Imam Malik akan menerima jika gubernur datang dengan berlumuran debu lembah. Meski demikian, gubernur itu bersedia mendampingi Imam Syafi’i untuk menemui Imam Malik.
Ketika sampai di rumah Imam Malik, mereka ditemui oleh budak wanita hitam, lalu gubernur berkata kepadanya bahwa dia ada keperluan dengan Imam Malik. Setelah lama menunggu di depan pintu, budak tersebut keluar dan berkata bahwa jika ada permasalahan yang ingin ditanyakan maka cukup ditulis dan jawabannya juga akan disampaikan secara tertulis, dan jika ingin belajar hadits maka disuruh untuk datang sesuai dengan jadwal yang ada. Mendengar perkataan tersebut gubernur berkata bahwa dia membawa surat dari gubernur Makkah dan ada yang perlu dibicarakan berkaitan dengan surat tersebut. Setelah itu budak tersebut masuk dan keluarlah Imam Malik. Gubernur menyerahkan surat dari Makkah dan meminta agar Imam Malik bersedia mengajarkan hadits kepada Imam Syafi’i, karena imam Syafi’i adalah pemuda terhormat, cerdas dan berakhlaq baik. Imam Malik mencampakkan surat tersebut dan marah jika ilmu Rasulullah diambil dengan cara semacam itu. Kemudian Imam syafi’i memberanikan diri untuk mengungkapkan sendiri kepada Imam Malik. Lalu Imam Malik mengatakan agar Imam Syafi’i datang besok hari dan akan ada orang yang membimbingnya untuk menghafal al-Muwaththa’.
Mulai keesokan harinya Imam Syafi’i membacakan hafalannya kepada Imam Malik dan Imam Malik terkagum dengan kemampuan beliau. Imam Syafi’i tinggal di Madinah hingga Imam Malik wafat (179 H). Selama itu beliau tidak tinggal terus menerus di Madinah, namun diselingi pulang ke Makkah untuk mengunjungi ibu dan sekaligus belajar kepada ulama Makkah.
Setelah Imam Malik wafat, beliau pulang ke Makkah. Nama dan keilmuan beliau mulai dikenal banyak orang. Pada fase ini beliau telah berguru kepada Sufyan bin Uyainah, Muslim bin Khalid, Ibrahim bin Abu Yahya dan Malik bin Anas di Madinah. Selain itu beliau juga belajar kepada ulama lainnya.
3- Ke Yaman
Imam Syafi’i banyak mendengar dari teman-temannya bahwa Yaman adalah gudangnya ilmu. Maka timbullah keinginan beliau untuk belajar kepada ulama-ulama Yaman. Namun keinginan tersebut harus beliau tahan karena tidak memiliki biaya.
Ketika ada seorang thalibi yang menjadi pejabat di Yaman, ibunya meminta agar bersedia pergi bersama Imam Syafi’i ke Yaman. Karena tidak memiliki uang, ibunya rela menggadaikan rumahnya seharga 16 dinar, dan uang itu diberikan kepadanya untuk biaya keberangkatan.
Sesampainya si Yaman, beliau diberi pekerjaan oleh orang tersebut. Imam Syafi’i ulet dalam melaksanakan pekerjaannya sehingga beliau diberi pekerjaan tambahan. Berita kesuksesan pekerjaan beliau menjadi buah bibir di Makkah. Ketika pulang ke Makkah, beliau menemui Ibnu Abi Yahya yang beliau pernah belajar padanya. Ibnu Abi Yahya mencela beliau dan mengatakan, “Engkau belajar kepadaku kemudian engkau bekerja?! Berarti engkau telah dimasuki sesuatu”. Kemudian beliau menemui Sufyan bin Uyainah. Beliau disambut olehnya lalu gurunya tersebut menyindir dengan berkata, “Informasi tentangmu sudah aku dengar, engkau dikenal banyak orang. Dan apa yang engkau kerjakan karena Allah niscaya akan kembali kepadamu. Sebaiknya engkau jangan berlebihan”. Imam Syafi’i merasa tergugah dengan sindiran dan nasehat Sufyan bin Uyainah ini.
Kemudian Imam Syafi’i kembali ke Yaman. Di sana beliau sungguh-sunguh dalam menuntut ilmu dan gigih dalam menyuarakan keadilan, sehingga nama beliau dikenal banyak orang. Pada saat itu terjadi permusuhan antara orang-orang Alawiyyah dengan orang-orang Abbasiyyah. Karena pengaruh beliau yang begitu besar bagi kalangan Alawiyyah dan khawatir terjadi suatu pemberontakan, maka seorang panglima mengirim surat kepada khalifah Harun ar-Rasyid yang isinya memberitahukan bahwa masyarakat khawatir terhadap bahaya kaum Alawiyyah, karena di kalangan mereka terdapat pemuda bernama Muhammad bin Idris yang lisannya lebih berbahaya dari pada pedangnya seorang pembunuh. Panglima tersebut menyarankan agar khalifah mengasingkan mereka.
Ujian yang dialami
Surat tersebut direspon oleh khalifah. Imam Syafi'i dan kaum Alawiyyah digiring ke Iraq dengan tangan terikat dan mereka mendapat siksaan sepanjang jalan. Ketika sampai di Iraq, mereka dihadapkan kepada khalifah Harun untuk diinterogasi dengan tuduhan memberontak dan menganggap Harun ar-Rasyid tidak pantas menjadi khalifah. Pada malam harinya, khalifah memerintahkan untuk membunuh mereka.
Ketika tiba giliran Imam Syafi'i, terjadi dialog antara beliau dengan khalifah, sementara Muhammad bin al-Hasan berada disamping khalifah. Muhammad bin al-Hasan dimintai komentar tentang Imam Syafi'i. Setelah dialog itu jelaslah bahwa tuduhan yang ditujukan kepada Imam Syafi'i tidak benar, maka beliau terbebas dari hukuman. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 184 H.
Mendampingi Imam Muhammad bin al-Hasan
Setelah Allah menyelamatkan beliau dari fitnah, Imam Syafi'i mendampingi Muhammad bin al-Hasan untuk menimba ilmu fiqih dan hadits Iraq darinya. Imam Syafi'i sering terlibat perdebatan dengan Muhammad bin al-Hasan. Perdebatan itu terjadi dikarenakan Imam Syafi'i bermadzhab Ahlu Hadits, sementara Muhammad bin al-Hasan bermadzhab Ahlu Ra'yi. Meski demikian, beliau tetap menghormati gurunya ini, sehingga Muhammad bin al-Hasan berkata, "Kesabarannya terhadapku seperti kesabaran unta. Ia selalu sabar mendengarkan ucapanku".
4- Kembali ke Makkah
Setelah memperoleh ilmu dari para ulama Iraq dan sebelumnya telah mendapat ilmu dari ulama Hijaz, beliau kembali ke Makkah dan mulai mengajar di Masjidil Haram, tempat beliau belajar dahulu. Ketika musim haji tiba dan banyak kaum muslimin yang datang ke Makkah, beliau didatangi oleh banyak ulama. Mereka kagum dengan keluasan ilmu beliau, kekuatan beliau dalam menggunakan dalil, keteguhan beliau dalam mengikuti sunnah, kedalaman beliau dalam ilmu fiqih dan istimbath ahkam, serta kaidah-kaidah beliau yang bersumber dari al-Qur'an dan hadits. Diantara ulama yang datang kepada beliau terdapat Imam Ahmad bin Hambal. Beliau mengadakan majlis di Masjidil Haram selama hampir 9 tahun.
5- Ke Iraq
Pada tahun 195 H, Imam Syafi'i mengadakan perjalanan ke Iraq. Sesampainya di Baghdad, Imam Syafi'i mendapat tempat di tengah-tengah masyarakat, karena beliau telah dikenal oleh masyarakat Baghdad, terutama oleh ulama Baghdad seperti Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahuyah, dan Abdurrahman al-Mahdi.
Tatkala beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami' al-Gharbi terdapat 20 halaqah yang diadakan oleh ulama ahlu ra'yu. Pada pekan kedua, hanya tersisa 4 halaqah, padahal beliau tidak menetap di Iraq, melainkan pulang-pergi antara Makkah dan Iraq. Kelompok Ahlu Hadits Baghdad berhasil dibangkitkan oleh Imam Syafi'i setelah lama 'tertidur'.
Pada tahun 198 beliau datang lagi ke Iraq, dan telah terjadi peristiwa besar di ibukota kekhilafan, yaitu khalifah al-Ma'mun telah dikelilingi dan dikuasai oleh ulama ilmu kalam, sehingga timbullah musibah besar dengan dihalalkannya darah ulama dan dikatakannya bahwa al-Qur'an adalah makhluq. Peristwa tersebut menjadikan beliau meninggalkan Iraq untuk selamanya.
6- Ke Mesir
Imam Syafi'i memilih untuk pindah ke Mesir, dan disana sudah tersebar madzhab Imam Malik yang ahlu hadits. Setibanya di Mesir, beliau datang ke masjid Amr bin al-Ash. Untuk pertama kalinya beliau berbicara disitu dan dengan serta merta masyarakat kagum terhadap beliau.
E. Pembelaan Terhadap Sunnah
Imam Syafi'i dijuluki oleh kalangan Ahlu Hadits sebagai Nashir as-Sunnah (pembela as-Sunnah). Ini merupakan penghargaan tinggi terhadap sosok beliau dan bukan hanya sekedar simbol belaka. Sikap, ucapan dan karya-karya tulis beliau menjadi saksi untuk itu.
Di masa hidup beliau, timbul bermacam-macam aliran keagamaan yang mayoritas selalu menyerang as-Sunnah. Mereka dapat dibagi menjadi tiga kelompok: Pertama, mengingkari as-Sunnah secara keseluruhan. Kedua, tidak menerima as-Sunnah kecuali bila semakna dengan Al-Qur'an. Ketiga, menerima as-Sunnah yang mutawatir saja dan tidak menerima selain itu, mereka menolak Hadits Ahad.
Beliau menyikapi ketiga kelompok tersebut dengan tegas. Terhadap kelompok pertama, beliau menyatakan bahwa tindakan mereka tersebut amat berbahaya karena dengan begitu rukun Islam, seperti shalat, zakat, haji dan kewajiban-kewajiban lainnya menjadi tidak dapat dipahami bila hanya berpijak kepada makna global dari Al-Qur'an kecuali dari makna secara etimologisnya saja. Demikian pula terhadap kelompok kedua, bahwa implikasinya sama saja dengan kelompok pertama. Sedangkan terhadap kelompok ketiga, beliau membantah pendapat mereka dengan argumentasi yang valid (tepat) dan detail terperinci. Di antara bantahan tersebut adalah sebagai berikut:
Di dalam mengajak kepada Islam, Rasulullah mengirim para utusan yang jumlahnya tidak mencapai angka mutawatir. Maka bila memang angka mutawatir tersebut urgen sekali, tentu Rasulullah tidak merasa cukup dengan jumlah tersebut sebab pihak yang dituju oleh utusan tersebut juga memiliki hak untuk menolak mereka dengan alasan tidak dapat mempercayai dan mengakui berita yang dibawa oleh mereka. Dan dalam peradilan perdata dan pidana yang terkait dengan harta, darah dan nyawa harus diperkuat oleh dua orang saksi padahal yang menjadi landasannya adalah khabar (hadits) yang diriwayatkan oleh jumlah yang tidak mencapai angka mutawatir, yaitu hadits Ahad, tetapi meskipun demikian, Allah tetap mewajibkan hal itu.
Nabi membolehkan orang yang mendengar darinya untuk menyampaikan apa yang mereka dengar tersebut, meskipun hanya oleh satu orang saja. Beliau bersabda: "Mudah-mudahan Allah memperbaiki akhlaq dan derajat seseorang yang mendengar hadits dari kami lantas menghafalnya hingga menyampaikannya." (H.R. Abu Daud). Para shahabat menyampaikan hadits-hadits Rasulullah secara individu-individu dan tidak mensyaratkan harus diriwayatkan oleh orang yang banyak sekali. Demikianlah di antara bantahan beliau di dalam menegaskan perlunya menerima hadits Ahad.
Sedangkan ucapan-ucapan beliau tentang perlunya berpegang teguh kepada as-Sunnah, di antaranya adalah perkataan beliau, "Setiap apa yang aku ucapkan (pendapatku); lantas ada hadits dari Nabi yang shahih bertentangan dengan ucapan/pendapatku tersebut, maka hadits Nabi lebih utama (untuk diikuti) dan janganlah kalian bertaqlid kepadaku."
F. Wafat
Di akhir hayatnya, Imam Syafi'i sibuk berdakwah, menyebarkan ilmu dan mengarang kitab sehingga beliau terkena penyakit wasir. Namun penyakit tersebut tidak menghalangi beliau untuk menyebarkan ilmu. Hingga akhirnya beliau wafat pada akhir bulan Rajab tahun 204 H.
G. Guru-guru
Imam Syafi'i belajar banyak ilmu dari para ulama di berbagai tempat, diantaranya; Makkah, Madinah, Kufah, Bashrah, Yaman, Syam, dan Mesir, sebagaimana yang disebutkan al-Baihaqi, al-Mizzy, Ibnu Katsir dan Ibnu Hajar.
Guru beliau dari Makkah antara lain ; Sufyan bin Uyainah, Abdurrahman bin Abu Bakar, Isma'il bin Abdullah, Muslim bin Khalid. Sedangkan guru dari Madinah diantaranya ; Malik bin Anas, Abdul Aziz bin Muhammad, Ibrahim bin Sa'ad bin Abdurrahman bin Auf, Muhammad bin Isma'il bin Abu Fudaik. Dan guru beliau yang lain diantaranya ; Hisyam bin Yusuf, Mutharrif bin Mazin, Waki', Muhammad bin al-Hasan. Tentunya masih banyak guru beliau yang tidak tersebutkan di sini.
H. Murid-murid
Jumlah murid beliau tidak terhitung jumlahnya dikarenakan beliau mengajarkan ilmunya di banyak tempat dan banyak orang yang mengikuti kajian beliau. Diantara murid beliau yang terkenal adalah ; ar-Rabi' bin Sulaiman bin Abdul Jabbar, Abu Ibrahim Isma'il bin Yahya, Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah al-Mishry, dan Abu Ya'qub Yusuf bin Yahya al-Mishry.
I. Karya beliau
Beliau telah meninggalkan warisan yang amat berharga, antara lain adalah ilmu Ushul Fiqih yang beliau tulis dalam kitab ar-Risalah. Disamping itu beliau juga menulis kitab Musnad asy-Syafi'i, berupa kumpulan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh beliau; dan kitab al-Umm berupa kumpulan keterangan beliau dalam masalah fiqih. Kumpulan riwayat keterangan Imam Syafi'i tentang masalah fiqih juga disusun oleh al-Imam al-Baihaqi dan diberi judul Ma'rifah al-Aatsar wa as-Sunnan.
Sumber rujukan:
Al-Aqil, Dr. Muhammad bin A.W. 1998. Manhaj al-Imam asy-Syafi'i fi Itsbat al-Aqidah. Bogor : Pustaka Imam asy-Syafi'i.
Adz-Dzahaby, Muhammad bin Ahmad bin Utsman. 1997. Siyar al-A'lam an-Nubala'. Jilid VIII. Beirut : Dar al-Fikr.
Shofiyyah, Abu. 2004. Imam Asy-Syafi'i (Pembelaannya Terhadap As-Sunnah). Situs www.albayan.com.
0 komentar:
Posting Komentar