Hukum Jabat Tangan Lelaki dengan Perempuan Ajnabi

DAFTAR ISI

Hlm.
BAB I:
AJNABI
1. Perempuan Ajnabi                                                                                  4
2. Lelaki Ajnabi                                                                                          5
BAB II:
AYAT-AYAT YANG BERKAITAN DENGAN MASALAH BERJABAT TANGAN LELAKI DENGAN PEREMPUAN AJNABI
1. Surah Al-Isra` (17): 32                                                                           6
2. Surah An-Nur (24): 3   
                                                                         7
BAB III:
HADITS-HADITS YANG BERKAITAN DENGAN MASALAH BERJABAT TANGAN LELAKI DENGAN PEREMPUAN AJNABI
1. Hadits Abu Hurairah Ghafarallahu lahu wa ummih tentang
Beberapa Macam Zina                                                                                8
2. Hadits Ma'qil Bin Yasar ra. tentang Siksaan untuk Lelaki
yang Menyentuh Perempuan Ajnabi                                                             9
3. Hadits 'Aisyah ra. tentang Pembai’atan Rasulullah sas.
terhadap Para Perempuan                                                                           10
4. Hadits Ibrahim An-Nakha’i tentang Berjabat Tangan
Rasulullah sas. dengan Para Perempuan dalam Bai’at                                   11
5. Hadits Asma' Binti Yazid ra. tentang Bai’at Antara
Rasulullah sas. dengan Para Perempuan                                                       11
6. Hadits Abu Umamah ra. tentang Keburukan Berdesakan
Lelaki dengan Perempuan Ajnabi                                                                13
7. Hadits 'Abdullah Bin Abu Zakariyya tentang Pedihnya
Siksaan untuk Lelaki yang Menyentuh Perempuan Ajnabi                            14
8. Hadits Anas Bin Malik ra. tentang Budak Perempuan Milik
Penduduk Madinah                                                                                    15
9. Hadits Anas Bin Malik ra. tentang Persentuhan
Rasulullah sas. dengan Ummu Haram ra.                                                     16
BAB IV:
PENDAPAT ULAMATENTANG MASALAH BERJABAT TANGAN LELAKI DENGAN PEREMPUAN AJNABI
1. Pendapat Pertama                                                                                  18
2. Pendapat Kedua                                                                                    20
BAB V:
ANALISIS
1. Analisis Ayat-Ayat yang Berkaitan dengan Masalah Berjabat
Tangan Lelaki dengan Perempuan Ajnabi                                                    21
2. Analisis Hadits-hadits yang Berkaitan dengan Masalah Berjabat
Tangan Lelaki dengan Perempuan Ajnabi                                                    23
3. Analisis Pendapat Ulama tentang Berjabat Tangan Lelaki
dengan Perempuan Ajnabi                                                                          31
BAB VI:
PENUTUP
1. Kesimpulan                                                                                            34
2. Saran-Saran                                                                                           34



BAB I
AJNABI

1. Perempuan Ajnabi
Lafal ajnabi menurut bahasa mempunyai beberapa pengertian. Salah satu pengertiannya adalah اَلْبَعِيْدُ فِى الْقَرَابَةِ , artinya: orang yang jauh hubungan kekerabatannya.

Di sini penulis hanya menukil salah satu pengertiannya di atas, karena itulah arti yang berkaitan dengan pembahasan dalam tulisan ilmiah ini.
Sedang menurut istilah yang biasa digunakan oleh ulama, ajnabi adalah:
غَيْرُ الزَّوْجَةِ أَوِ الْمَحَارِمِ مِنَ النِّسَاءِ , artinya: selain istri atau perempuan mahram. Sedang lafal mahram menurut bahasa adalah اَلْحَرَامُ , artinya: sesuatu yang haram.
Adapun menurut istilah yang biasa digunakan oleh ulama, mahram adalah:
اَلْمُحَرَّمُ نِكَاحُهَا عَلَيْهِ لِذَاتِهَا عَلَى التَّأْبِيْدِ بِسَبَبٍ مُبَاحٍ مِنْ نَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ أَوْ مُصَاهَرَةٍ.
(Perempuan) yang selamanya diharamkan atasnya (seorang lelaki)
untuk menikahinya karena dzatnya, disebabkan sesuatu yang dibolehkan, berupa nasab atau susuan atau persemendaan.
Dengan kata lain, mahram adalah orang yang selama-lamanya haram dinikahi.
Keharaman dinikahinya orang-orang tersebut, berdasarkan dalil-dalil syar’i berupa ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullah sas. Ayat-ayat Al-Qur’an yang penulis maksud adalah surah An-Nisa’ (4): 22-23, sebagai salah satu dari beberapa ayat Al-Qur’an tentang peraturan pernikahan dalam Islam.
Adapun hadits yang menjadi dalil keharaman menikahi para mahram adalah sabda Nabi Muhammad sas. ketika beliau ditawari oleh ‘Ali bin Abi Thalib ra. untuk menikahi putri paman beliau, Hamzah bin ‘Abdul Muththalib ra.
Jadi yang dimaksud dengan perempuan ajnabi adalah setiap perempuan yang bukan istri, dan bukan pula sebagai salah satu dari perempuan-perempuan mahram. Wallahu A’lam.

2. Lelaki Ajnabi
Manakala di antara para perempuan itu ada yang boleh dinikahi dan ada yang tidak, yaitu ada yang ajnabi dan ada yang mahram, maka secara pasti hal itu pun terdapat pula pada kalangan lelaki. Tegasnya, di antara para lelaki itu pun bagi seorang perempuan, ada yang boleh menikahi dan ada yang tidak boleh; ada yang ajnabi dan ada yang mahram.

BAB II
AYAT-AYAT YANG BERKAITAN DENGAN MASALAH BERJABAT TANGAN LELAKI DENGAN PEREMPUAN AJNABI

1. Surah Al-Isra` (17): 32
1.1 Lafal dan Arti Ayat
﴿ وَلاَ تَقْرَبُوْا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً قلى وَ سَآءَ سَبِيْلاً ﴾. اْلإِسْرَآءُ (17):32.
“Dan janganlah kamu menghampiri zina, karena sesungguhnya adalah ia itu satu kejahatan dan jelek perjalanannya.” Al-Isra` (17): 32.
1.2 Maksud Ayat
Maksud ayat yang berkaitan dengan makalah ini adalah:
1.2.1 Allah AwJ melarang manusia “mendekati” perbuatan zina.
1.2.2 Zina merupakan perbuatan buruk yang amat jahat dan jalan yang sangat buruk ke neraka Jahanam.
1.3 Penjelasan
Tentang lafal  وَ لاَ تَقْرَبُوْا الزِّنَى  (Dan janganlah kalian mendekati zina), An-Nasafi berkata:
هُوَ نَهْيٌ عَنْ دَوَاعِى الزِّنَى كَاللَّمْسِ وَ الْقُبْلَةِ وَ نَحْوِهِمَا وَ لَوْ أُرِيْدَ النَّهْيُ عَنْ نَفْسِ الزِّنَى لَقَالَ: لاَ تَزْنُوْا.
(Lafal) itu merupakan larangan (melakukan) hal-hal yang dapat menyeret (seseorang) untuk melakukan zina, seperti menyentuh, mencium, dan semisalnya. Bila (yang) dimaksud (adalah) larangan untuk (melakukan) zina itu sendiri, sungguh (pastilah) Dia berfirman: ((لاَ تَزْنُوْا)) (: “Janganlah kalian berzina”).
Ash-Shabuni sependapat dengan An-Nasafi dalam hal ini.

2. Surah An-Nur (24): 30
2.1 Lafal dan Arti Ayat
﴿ قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَ يَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْ قلى ذلِكَ أَزْكَى لَهُمْ قلى إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا يَصْنَعُوْنَ ﴾. النُّوْرُ (24) : 30
Suruhlah mu’minin menundukkan sebagian dari pandangan-pandangan mereka. dan memelihara kemaluan mereka. Yang demikian itu lebih bersih buat mereka; sesungguhnya Allah amat Mengetahui apa yang mereka kerjakan. Surah An-Nur (24): 30.
2.2 Maksud Ayat
Maksud ayat yang berkaitan dengan pembahasan ini adalah bahwa Allah AwJ menyuruh para hamba-Nya yang beriman untuk menahan pandangan mereka dari melihat hal-hal yang haram untuk dilihat.
2.3 Penjelasan
Pada penelitian tentang hukum berjabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi, yang menjadi pokok pembicaraan dari ayat di atas adalah lafal: يَغُضُّوْا مِنْ أَبْصَارِهِمْ (Supaya mereka menundukkan sebagian dari pandangan-pandangan mereka), sebab lafal ini dianggap oleh A. Hassan berkaitan dengan masalah berjabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi.

BAB III
HADITS-HADITS YANG BERKAITAN DENGAN MASALAH BERJABAT TANGAN LELAKI DENGAN PEREMPUAN AJNABI

Dalam bab ini penulis mengetengahkan beberapa hadits yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan masalah berjabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi.
1. Hadits Abu Hurairah ghafarallahu lahu wa ummih tentang Beberapa Macam Zina
1.1 Lafal dan Arti Hadits Abu Hurairah ghafarallahu lahu wa ummih
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: ((عَلَى كُلِّ نَفْسٍ مِنْ بَنِى آدَمَ كُتِبَ حَظُّهُ مِنَ الزِّنَى, أَدْرَكَ ذلِكَ لاَ مَحَالَةَ, فَالْعَيْنُ زِنَاهَا النَّظَرُ, وَ اْلآذَانُ زِنَاهَا اْلإِسْتِمَاعُ, وَ الْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ, وَ الرِّجْلُ زِنَاهَا الْمَشْيُ, وَ اللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَم ُ, وَ الْقَلْبُ يَهْوَى وَ يَتَمَنَّى, وَ يُصَدِّقُ ذلِكَ وَ يُكَذِّبُهُ الْفَرْجُ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَ اللَّفْظُ لَهُ وَ الْبُخَارِيُّ وَ مُسْلِمٌ وَ أَبُو دَاوُدَ
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah sas. bahwa beliau telah bersabda: “Telah ditetapkan atas tiap jiwa dari anak turun Adam bagiannya dari perbuatan zina yang pasti dia dapatkan (lakukan). Mata itu, zinanya adalah melihat. Adapun kedua telinga, zinanya adalah mendengarkan. Adapun tangan, zinanya adalah menyentuh. Adapun kaki, zinanya adalah berjalan. Adapun lidah, zinanya adalah berbicara. Adapun hati, zinanya adalah menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang akan membenarkan hal itu atau mendustakannya.” Dikeluarkan oleh Ahmad dan lafal ini miliknya, Al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud.
1.2 Maksud Hadits Abu Hurairah ghafarallahu lahu wa ummih
Maksud hadits yang berkaitan dengan pembahasan ini adalah bahwa zina yang dilakukan oleh tangan lelaki itu berupa menyentuh perempuan ajnabi.
1.3 Derajat Hadits Abu Hurairah ghafarallahu lahu wa ummih
Hadits ini shahih. Wallahu A’lam.

2. Hadits Ma'qil Bin Yasar ra. tentang Siksaan untuk Lelaki yang Menyentuh Perempuan Ajnabi
2.1 Lafal dan Arti Hadits Ma’qil ra.
حَدَّثَناََ نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبِي حَدَّثَناَ شَدَّادُ بْنُ سَعِيْدٍ عَنْ أَبِى الْعَلاَءِ حَدَّثَنِي مَعْقِلُ بْنُ يَسَارٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: (( َلأَنْ يُطْعَنَ فِى رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ, خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ )) أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ بِسَنَدٍ جَيِّدٍ وَ الطَّبَرَانِيُّ وَ رِجَالُهُ ثِقَاتٌ رِجَالُ الصَّحِيْحِ
Nashr bin ‘Ali telah menceritakan kepada kami, dia berkata: Bapakku telah mengabari kami, Syaddad bin Sa’id telah menceritakan kepada kami, dari Abu Al-‘Ala’, Ma’qil bin Yasar telah menceritakan kepada kami, dia berkata: Rasulullah sas. bersabda: “Sungguh bahwa kepala seorang lelaki ditusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh perempuan yang tidak halal untuknya.” Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad yang baik dan Ath-Thabarani, dan para perawi (hadits) Ath-Thabarani adalah orang-orang tsiqat; para perawi (hadits) shahih.
2.2 Maksud Hadits Ma’qil Bin Yasar ra.
Siksa terhadap lelaki berupa tusukan dengan jarum besi pada kepala itu lebih ringan daripada siksa Allah terhadap lelaki yang menyentuh perempuan ajnabi.
2.3 Derajat Hadits Ma’qil bin Yasar ra.
Hadits ini hasan. Wallahu a’lam.

3. Hadits 'Aisyah ra. tentang Pembai’atan Nabi Muhammad sas. terhadap Para Perempuan
3.1 Lafal dan Arti Hadits ‘A`isyah ra.
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يُبَايِعُ النِّسَاءَ بِالْكَلاَمِ بِهذِهِ اْلآيَةِ ﴿ لاَ يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئاً ﴾ قَالَتْ: وَ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ إِلاَّ امْرَأَةً يَمْلِكُهَا. رَوَاهُ أَحْمَدُ وَ الْبُخَارِيُّ وَ اللَّفْظُ لَهُ وَ مُسْلِمٌ وَ التُّرْمُذِيُّ وَ ابْنُ مَاجَهْ
Dari ‘A`isyah ra., dia berkata: “Adalah Nabi sas. membai’at (mengambil janji setia) para perempuan secara lisan dengan ayat ini  لاَ يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئاً  (mereka -para perempuan- tidak akan menyekutukan sesuatu pun dengan Allah).” Dia (‘A`isyah ra.) berkata: “Dan tidaklah tangan Rasulullah sas. menyentuh tangan seorang perempuan pun kecuali perempuan yang beliau miliki”. Diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bukhari dan lafal ini miliknya, Muslim, At-Turmudzi, dan Ibnu Majah.
3.2 Maksud Hadits ‘A`isyah ra.
Maksud hadits yang berkaitan dengan pembahasan ini adalah:
3.2.1 Nabi Muhammad sas. membai’at (mengambil janji setia) para perempuan secara lisan.
3.2.2 Tangan mulia Nabi Muhammad sas. tidak beliau gunakan untuk menyentuh tangan seorang perempuan pun selain yang beliau miliki.
3.3 Derajat Hadits ‘A`isyah ra.
Hadits ini shahih. Wallahu A’lam.
4. Hadits Ibrahim An-Nakha’i tentang Berjabat Tangan Nabi Muhammad sas. dengan Para Perempuan
4.1 Lafal dan Arti Hadits Ibrahim An-Nakha’i
حَدَّثَناَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنِ الثَّوْرِيِّ عَنْ مَنْصُوْرٍ عَنْ إِبْرَاهِيْمَ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يُصَافِحُ النِّسَاءَ وَ عَلَى يَدِهِ ثَوْبٌ. أَخْرَجَهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ مُرْسَلاً.
‘Abdur-Razzaq telah menceritakan kepada kami, dari Ats-Tsauri, dari Manshur, dari Ibrahim, dia berkata: “Adalah Rasulullah sas. menjabat tangan para perempuan, sedangkan pada tangan beliau ada sehelai kain.” Dikeluarkan oleh ‘Abdurrazzaq secara mursal.
Catatan: Ibrahim dalam sanad hadits di atas adalah Ibrahim An-Nakha’i.
4.2 Maksud Hadits Ibrahim An-Nakha’i
Nabi Muhammad sas. biasa berjabat tangan dengan para perempuan dengan melapiskan sehelai kain pada tangan.
4.3 Derajat Hadits Ibrahim An-Nakha’i
Hadits ini dla’if . Wallahu A’lam.

5. Hadits Asma` Binti Yazid ra. tentang Bai’at antara Nabi Muhammad sas. dengan Para Perempuan
5.1 Lafal dan Arti Hadits Asma` ra.
حَدَّثَناَ عَبْدُ اللهِ حَدَّثَنِي أَبِي حَدَّثَنَا هَاشِِمٌ هُوَ ابْنُ الْقَاسِمِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيْدِ قَالَ: حَدَّثَنَا شَهْرُ بْنُ حَوْشَبٍ قَالَ: حَدَّثَتْنِي أَسْمَاءُ بِنْتُ يَزِيْدَ أَنَّ رَسُوْلَ الله ِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ جَمَعَ نِسَاءَ الْمُسْلِمِيْنَ لِلْبَيْعَةِ, فَقَالَتْ لَهُ أَسْمَاءُ: أَلاَ تَحْسُرُ لَنَا عَنْ يَدِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِِ؟ فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: (( إِنِّي لَسْتُ أُصَافِحُ النِّسَاءَ وَ لكِنْ آخُذُ عَلَيْهِنَّ ...)). أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَ اللَّفْظُ لَهُ وَ الطَّبَرَانِيُّ وَ الدَّيْلَمِيُّ وَ الْحُمَيْدِيُّ وَ ابْنُ سَعْدٍ بِسَنَدٍ ضَعِيْفٍ.
‘Abdullah telah menceritakan kepada kami, bapakku (Ahmad bin Hanbal) telah menceritakan kepada saya, Hasyim -yaitu Ibnu Al-Qasim- telah menceritakan kepada kami, ‘Abdul Hamid telah menceritakan kepada kami, dia berkata: Syahr bin Hausyab telah menceritakan kepada kami, dia berkata: Asma` binti Yazid telah menceritakan kepada saya bahwa Rasulullah sas. telah mengumpulkan perempuan-perempuan muslim untuk bai’at, lalu Asma` berkata kepada beliau: “Tidakkah Engkau singkapkan (kain itu) dari tanganmu untuk kami, wahai Rasulullah?” Lalu Rasulullah sas. menjawab: “Sesungguhnya saya tidak menjabat tangan para perempuan, tetapi saya (hanya) mengambil (bai’at) atas mereka ….”. Dikeluarkan oleh Ahmad dan lafal ini miliknya, Ath-Thabarani, Ad-Dailami, Al-Humaidi, dan Ibnu Sa’d dengan sanad yang dla’if.
5.2 Maksud Hadits Asma` ra.
Maksud hadits yang berkaitan dengan pembahasan ini adalah:
5.2.1 Asma` binti Yazid ra. mengusulkan kepada Nabi Muhammad sas. agar beliau menyingkapkan kain yang ada di tangan beliau, ketika melangsungkan bai’at terhadap dia dan rekan-rekannya.
5.2.2 Nabi Muhammad sas. menyikapi usul Asma` ra. di atas dengan menyatakan bahwa beliau tidak menjabat tangan para perempuan, dan bahwa beliau hanya mengambil bai’at dari mereka.
5.3 Keterangan
Perkataan Asma` ra.:(أَلاَ تَحْسُرُ لَنَا عَنْ يَدِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟) yang artinya: “Tidakkah Anda singkapkan (saja kain itu) dari tanganmu untuk kami, wahai Rasulullah?” hanya terdapat pada Musnad Ahmad juz 6 hlm. 454.
5.4 Derajat Hadits Asma` ra.
Hadits ini dla’if. Wallahu A’lam.

6. Hadits Abu Umamah ra. tentang Keburukan Berdesakan antara Lelaki dengan Perempuan Ajnabi
6.1 Lafal dan Arti Hadits Abu Umamah ra.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوْبَ حَدَّثَنَا سَعِيْدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَنْبَأَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوْبَ عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ زَحْرٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ يَزِيْدَ عَنِ الْقَاسِمِ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ عَنْ رَسُوْلِ الله ِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: (( إِيَّاكُمْ وَ الْخَلْوَةَ بِالنِّسَاءِ, وَ الَّذِى نَفْسِي بِيَدِهِ, مَا خَلاَ رَجُلٌ وَ امْرَأَةٌ إِلاَّ دَخَلَ الشَّيْطَانُ بَيْنَهُمَا. وَلَيَزْحَمُ رَجُلٌ خِنْزِيْرًا مُتَلَطِّخًا بِطِيْنٍ أَوْ حَمْأَةٍ, خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَزْحَمَ مَنْكِبُهُ مَنْكِبَ امْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ )). أَخْرَجَهُ الطَّبَرَانِيُّ بِسَنَدٍ ضَعِيْفٍ.
Yahya bin Ayyub telah menceritakan kepada kami, Sa’id bin Abu Maryam telah menceritakan kepada kami, Yahya bin Ayyub telah memberitahu kami, dari ‘Ubaidah bin Zahr, dari ‘Ali bin Yazid, dari Qasim, dari Abu Umamah, dari Rasulullah sas., beliau bersabda: “Jauhilah oleh kalian akan khalwat dengan para perempuan! Demi Dzat Yang jiwaku ada di tangan-Nya! Tidaklah seorang lelaki berkhalwat dengan seorang perempuan, melainkan pasti masuklah setan (ke tengah-tengah) antara mereka berdua. Dan sungguh bahwa seorang lelaki berhimpitan dengan seekor babi yang berlumuran lumpur atau lumpur hitam berbau busuk itu lebih baik baginya daripada bahunya berhimpitan dengan bahu seorang perempuan yang tidak halal baginya.” Dikeluarkan oleh Ath-Thabarani dengan sanad yang dla’if .
6.2 Maksud Hadits Abu Umamah ra.
6.2.1 Nabi Muhammad sas. melarang seseorang berkhalwat dengan lawan jenisnya yang ajnabi.
6.2.2 Lelaki dan perempuan ajnabi jika berkhalwat maka pasti ditemani oleh setan.
6.2.3 Berhimpitan dengan lawan jenis yang ajnabi itu lebih buruk daripada berhimpitan dengan seekor babi yang berlumuran lumpur hitam yang berbau busuk.
6.3 Derajat Hadits Abu Umamah ra.
Hadits ini dla’if. Wallahu A’lam.

7. Hadits 'Abdullah Bin Abu Zakariyya tentang Pedihnya Siksaan untuk Lelaki yang Menyentuh Perempuan Ajnabi
7.1 Lafal dan Arti Hadits ‘Abdullah Bin Abu Zakariyya
حَدَّثَنَا سَعِيْدٌ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أنْبَأَنَا دَاودُ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أَبِي زَكَرِيَّا الْخُزَاعِيُّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: (( َلأَنْ يُقْرَعَ الرَّجُلُ قَرْعًا يَخْلُصُ الْقَرْعُ إِلَى عَظْمِ رَأْسِهِ, خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ تَضَعَ امْرَأَةٌ يَدَهَا عَلَى سَاعِدِهِ, لاَ تَحِلُّ لَهُ )). أَخْرَجَهُ سَعِيْدُ بْنُ مَنْصُوْرٍ, وَ فِى سَنَدِهِ انْقِطَاعٌ.
Sa’id telah mengabari kami, Husyaim telah menceritakan kepada kami, Dawud bin ‘Amr telah mengabari kami, ‘Abdullah bin Abu Zakariyya Al-Khuza’i telah menceritakan kepada kami, dia berkata: Rasulullah sas. bersabda: “Sungguh bahwa seorang lelaki ditusuk dengan sebuah tusukan hingga ke tulang kepalanya itu lebih baik baginya daripada bahwa ada seorang perempuan yang tidak halal baginya meletakkan tangannya pada lengan bawah lelaki tersebut,.” Dikeluarkan oleh Sa’id bin Manshur, dan terdapat inqitha’ dalam sanadnya (sanadnya terputus).
7.2 Maksud Hadits ‘Abdullah bin Abu Zakariyya
Lebih baik seorang lelaki ditusuk dengan tusukan yang menembus sampai tulang kepalanya daripada lengannya disentuh oleh seorang perempuan ajnabi.
7.3 Keterangan
Hadits di atas mengandung sebuah ancaman keras ditujukan kepada lelaki yang bersentuhan dengan perempuan ajnabi.
7.4 Derajat Hadits ‘Abdullah Bin Abi Zakariyya
Hadits ini dla’if. Wallahu A’lam.

8. Hadits Anas bin Malik ra. tentang Budak Perempuan Milik Penduduk Madinah
8.1 Lafal dan Arti Hadits Anas ra.
(عَنْ) أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَتِ اْلأَمَةُ مِنْ إِمَاءِ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ لَتَأْخُذُ بِيَدِ رَسُوْلِ اللهِِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ, فَتَنْطَلِقُ بِهِ حَيْثُ شَائَتْ. أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَ الْبُخَارِيُّ وَاللَّفْظُ لَهُ وَ ابْنُ مَاجَهْ .
(Dari) Anas bin Malik, dia berkata: “Adalah budak perempuan dari kalangan para budak perempuan milik penduduk Madinah sungguh memegang tangan Rasulullah sas., lalu dia mengajak beliau pergi ke mana saja dia kehendaki.” Dikeluarkan oleh Ahmad, Al-Bukhari dan lafal ini miliknya, dan Ibnu Majah.
8.2 Maksud Hadits Anas ra.
Rasulullah sas. bersedia membantu budak perempuan penduduk Madinah di tempat yang budak perempuan tersebut kehendaki.
8.4 Derajat Hadits Anas ra. tentang Budak Perempuan Madinah
Hadits ini shahih. Wallahu A’lam.




9. Hadits Anas Bin Malik ra. tentang Persentuhan Nabi Muhammad sas. dengan Ummu Haram ra.
9.1 Lafal dan Arti Hadits Anas ra.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ (قاَلَ): كَانَ رَسُوْلُ اللهِِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا ذَهَبَ إِلَى قُبَاءٍَ, يَدْخُلُ عَلَى أُمِّ حَرَامٍ بِنْتِ مِلْحَانَ وَ كَانَتْ تَحْتَ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ فَدَخَلَ عَلَيْهَا يَوْماً, فَأَطْعَمَتْهُ وَ جَلَسَتْ تَفْلِي رَأْسَه ُ. وَ سَاقَ هذَا الْحَدِيْثَ قَالَ أَبُو دَاوُدَ: وَ مَاتَتْ بِنْتُ مِلْحَانَ بِقُبْرُصَ . رََوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَ مُسْلِمٌ وَ أَبُو دَاودَ وَ اللَّفْظُ لَهُ وَ التُّرْمُذِيُّ وَ ابْنُ مَاجَهْ وَ الدَّارِمِيُّ وَ مَالِكٌ .
Dari Anas bin Malik, (dia berkata): “Adalah Rasulullah sas. bila pergi ke Quba’ , beliau masuk ke (rumah) Ummu haram binti Milhan, dan dia adalah istri ‘Ubadah bin Ash-Shamit. Maka pada suatu hari beliau memasuki (rumah)nya, lalu dia menghidangkan makanan kepada beliau dan dia duduk sambil menyelisik kepala beliau.” Dia (Al-Qa’nabi) membaca hadits ini sampai selesai. Abu Dawud berkata: “Binti Milhan meninggal dunia di Siprus.” Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan lafal ini miliknya, At-Turmudzi, Ibnu Majah, Ad-Darimi, dan Malik.
9.2 Maksud Hadits Anas ra.
Maksud hadits yang berkaitan dengan pembahasan ini adalah bahwa Ummu Haram binti Milhan ra. pernah menyelisik kepala Nabi Muhammad sas. ketika beliau singgah di rumahnya.
9.3 Derajat Hadits Anas ra. tentang Ummu Haram ra.
Hadits ini shahih. Wallahu A’lam.

BAB IV
PENDAPAT ULAMA BERKAITAN MASALAH BERJABAT TANGAN LELAKI DENGAN PEREMPUAN AJNABI

Di sini penulis mengemukakan pendapat ulama tentang berjabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi, juga tentang persentuhan antara keduanya. Sebagian pendapat menyatakan keharaman persentuhan/jabat tangan tersebut dengan menyebutkan persyaratan keharaman, sedang sebagian yang lain tidak menyebutkannya. Karena itu, penulis merinci pendapat mereka dalam dua subbab berikut:
1. Pendapat Pertama
Pendapat pertama adalah bahwa berjabat tangan atau persentuhan lelaki dengan perempuan ajnabi itu haram (dilarang; tidak boleh dilakukan, atau yang semakna dengan itu) secara mutlak, yaitu tanpa menyebutkan syarat keharamannya. Ulama yang menyatakan hal tersebut adalah:
1.1 Ibnu Al-‘Arabi
Beliau mengatakan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَافِحُ الرِّجَالَ فِى الْبَيْعَةِ بِالْيَدِ تَأْكِيْدًا لِشِدَّةِ الْعَقْدِ بِالْقَوْلِ وَالْفِعْلِ . فَسَأَلَ النِّسَاءُ ذلِكَ فَقَالَ لَهُنَّ قَوْلِى لاِمْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ كَقَوْلِى لمِاِئَةِ امْرَأَةٍ وَ لَمْ يُصَافِحْهُنَّ لِمَا أَوْعَزَ إِلَيْنَا فِى الشَّرِيْعَةِ مِنْ تَحْرِيْمِ المْبُاَشَرَةِ لَهُنَّ إِلاَّ مَنْ يَحِلُّ لَهُ ذلِكَ مِنْهُنّ َ .
Adalah Nabi sas. menjabat tangan para lelaki dalam bai’at dengan tangan (beliau) untuk lebih memperkuat ikatan janji, (yaitu) dengan ucapan dan perbuatan (sekaligus). Maka para perempuan pun meminta (untuk dilakukan pula jabat tangan) tersebut, namun beliau bersabda kepada mereka: ”Ucapanku kepada seorang perempuan seperti ucapanku kepada seratus orang perempuan”, dan beliau tidak menjabat tangan mereka karena (adanya) pengharaman menyentuh kulit mereka, yang telah beliau beritahukan kepada kita dalam syari’at ini kecuali dari kalangan mereka yang halal bagi beliau (untuk melakukan) persentuhan itu.
Pendapat tentang keharaman lelaki menyentuh perempuan ajnabi dikemukakan juga oleh Asy-Syanqithi , Al-Jaza`iri , dan Al-Malibari .
1.2 Al-Albani
Setelah mengutip hadits Ma’qil bin Yasar ra. dan hadits ‘Abdullah bin Abu Zakariyya, Al-Albani berkomentar sebagai berikut:
وَ فِى الْحَدِيْثِ وَعِيْدٌ شَدِيْدٌ لِمَنْ مَسَّ امْرَاَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَفِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِ مُصَافَحَةِ النِّسَاءِ, ِلأَنَّ ذلِكَ مِمَّا يَشْمُلُهُ الْمَسُّ دُوْنَ شَكٍّ . وَ قَدْ بُلِيَ بِهَا كَثِيْرٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ فِيْهِمْ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ ... بَلْ إِنَّ بَعْضَ اْلأَحْزَابِ اْلإِسْلاَمِيَّةِ قَدْ ذَهَبَتْ إِلَى الْقَوْلِ بِجَوَازِ الْمُصَافَحَةِ الْمَذْكُوْرَةِ ، وَ فَرَضَتْ عَلَى كُلِّ حِزْبِيٍّ تَبَنِّـيَه ُ . وَ احْتَجَّتْ لِذلِكَ بِمَا لاَ يَصْلُحُ, مُعْرِضَةً عَنِ اْلإِعْتِبَارِ بِهذَا الْحَدِيْثِ وَ اْلأَحَادِيْثِ اْلأُخْرَى الصَّرِيْحَةِ فِى عَدَمِ مَشْرُوْعِيِّةِ الْمُصَافَحَةِ .
Pada hadits ini terdapat ancaman keras bagi orang (laki-laki) yang menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya. Jadi, di dalamnya terdapat dalil diharamkannya berjabat tangan dengan para perempuan, sebab tidak diragukan (lagi) bahwa (berjabat tangan) itu termasuk dalam kategori “bersentuhan” tersebut. Dan sungguh kebanyakan muslimin di masa ini telah tertimpa bala berupa berjabat tangan ini, dan (bahkan) termasuk (pula) sebagian ahli ilmu (agama) … bahkan sesungguhnya sebagian partai yang Islami berpendapat boleh melakukan jabat tangan tersebut, dan mengharuskan kepada setiap anggota partai untuk berpendapat begitu. Dan untuk (pendapat) tersebut, mereka menggunakan argumen yang tidak layak, seraya tidak mau mempedulikan hadits ini serta hadits-hadits lain yang jelas (menunjukkan) bahwa berjabat tangan tersebut tidak disyari’atkan.
Pendapat tentang keharaman berjabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi, dikemukakan juga oleh Ash-Shabuni , Dr. Mushthafa Sa’id Al-Khin dkk. , Ulama di Lajnah Daimah , dan A. Hassan.

2. Pendapat Kedua
2.1 Persentuhan Lelaki dengan Perempuan Ajnabi itu Diharamkan bila Dilakukan dengan Syahwat
Pendapat ini dikemukakan oleh Hasbi Ash-Shiddiqi, sebagaimana ditulis oleh A. Hassan berikut ini:
“Tuan Hasbi teruskan: I. Maka yang dapat kita qiyaskan kepada hukum nazhar yang diharamkan lantaran syahwat, ialah hukum menjamah dengan karena syahwat pula.”
2.2 Berjabat Tangan Lelaki dengan Perempuan Ajnabi Itu Dilarang bila Perempuan Tersebut Masih Muda
Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Marghinani:
... وَ هذَا إِذَا كَانَتْ شَابَّةً تُشْتَهَى . أَمَّا إِذَا كَانَتْ عَجُوْزًا لاَ تُشْتَهَى, فَلاَ بَأْسَ بِمُصَافَحَتِهَا وَ مَسِّ يَدِهَا, لاِنْعِدَامِ خَوْفِ الْفِتْنَةِ . وَ قَدْ رُوِيَ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يُدْخِلُ بَعْضَ الْقَبَائِلِ الَّتِي كَانَ مُسْتَرْضَعًا فِيْهِمْ, وَ كَانَ يُصَافِحُ الْعَجَائِزَ ، وَ عَبْدَ اللهِ بْنَ الزُّبَيْرِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اسْتَاْجَرَ عَجُوْزًا لِتُمَرِّضَهُ, وَ كَانَتْ تَغْمِزُ رِجْلَيْهِ وَ تَفْلِي رَأْسَهُ .
… dan (keharaman) ini (berlaku) bila perempuan tersebut adalah seorang perempuan muda yang masih menarik selera. Adapun bila ia adalah seorang perempuan tua yang sudah tidak diinginkan lagi, maka tidak mengapa untuk dijabat tangannya atau disentuh tangannya, karena ketiadaan rasa khawatir dari (timbulnya) fitnah. Telah diriwayatkan bahwa Abu Bakr ra. memasukkan (mempersilakan masuk ke dalam tempat tinggalnya) sebagian kabilah yang dahulu dia disusukan pada mereka, dan beliau berjabat tangan dengan para perempuan tua dari kabilah tersebut, sedang ‘Abdullah bin Zubair ra. mengupah seorang perempuan tua untuk merawatnya ketika sakit, dan ia memijat kedua kakinya dan membersihkan kepalanya dari kutu.



BAB V
A N A L I S I S

1. Analisis Ayat-Ayat yang Berkaitan dengan Masalah Jabat Tangan Lelaki dengan Perempuan Ajnabi
1.1 Analisis Surah Al-Isra` (17): 32
Lafal ayat ini adalah:
﴿ وَلاَ تَقْرَبُوْا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً قلى وَ سَآءَ سَبِيْلاً ﴾.
Al-Qurthubi, Ash-Shabuni, dan Al-Jaza`iri menafsirkan lafal: لاَتَقْرَبُوْا الزِّنَى dengan لاَ تَدْنُوا مِنَ الزِّنَى , artinya: Janganlah kalian mendekati zina!
Maksud larangan mendekati zina pada ayat di atas, diterangkan oleh Al-Ulusi sebagai berikut: (وَلاَ تَقْرَبُواالزِّنَى) بِمُبَاشَرَةِ مَبَادِيْهِ الْقَرِيْبَةِ أَوِ الْبَعِيْدَةِ.
(Dan janganlah kalian mendekati zina) yaitu melakukan permulaan-permulaannya, (baik) yang dekat atau yang jauh.
Penafsiran yang semakna dengan keterangan di atas disampaikan juga oleh Asy-Syaukani , Al-Brussawi , Al-Maraghi , dan Ash-Shabuni .
Jadi, maksud “mendekati zina” adalah melakukan sesuatu yang dapat menyebabkan seseorang melakukan zina.
Pernyataan bahwa menyentuh perempuan ajnabi itu termasuk mendekati zina, dapat diterima berdasarkan hadits shahih dari Abu Hurairah ghafarallahu lahu wa ummih bahwa zina tangan itu menyentuh, dan bahwa zina tangan tersebut dapat saja berlanjut kepada zina kemaluan . Na’udzu billahi min dzalika.
Ash-Shabuni dan Al-Jaza`iri menyatakan bahwa larangan mendekati zina pada ayat di atas lebih kuat daripada larangan melakukan zina . Jadi, dalam larangan mendekati zina pada ayat di atas terkandung larangan melakukan zina.
Menurut penulis, apa yang dikemukakan oleh Ash-Shabuni dan Al-Jaza`iri tersebut dapat diterima, karena memang dalam bahasa Arab biasa digunakan lafal لاَ تَقْرَبُوا untuk melarang dengan keras dari suatu hal.
Berdasarkan analisis di atas, disimpulkan bahwa larangan mendekati zina dalam surah Al-Isra` (17): 32, selain berarti larangan melakukan zina, juga berarti larangan melakukan permulaan-permulaan zina, termasuk berjabat tangan dengan lawan jenis yang ajnabi. Wallahu A’lam.
1.3 Analisis Surah An-Nur (24): 30
Ayat ini digunakan oleh A. Hassan untuk mengharamkan jabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi, dengan pertimbangan bahwa apabila memandang perempuan ajnabi tidak boleh, maka berjabat tangan dengannya tentu lebih tidak boleh. Menurut Asy-Syanqithi, sentuhan terhadap suatu anggota badan perempuan itu tentu saja lebih kuat pengaruhnya terhadap syahwat lelaki daripada sekedar memandang anggota badan tersebut .
Penulis setuju bahwa sentuhan tersebut lebih kuat pengaruhnya terhadap syahwat daripada pandangan, karena memang sentuhan itu lebih sempit atau lebih terbatas cakupannya daripada pandangan. Artinya sesuatu itu bisa dipandang dari jarak yang jauh, namun tidak dapat disentuh kecuali dengan jarak yang dekat. Berdasarkan pemikiran ini, maka logislah bila menyentuh itu dinyatakan lebih mempengaruhi syahwat daripada memandang. Wallahu A’lam.
2. Analisis Hadits-Hadits yang Berkaitan dengan Jabat Tangan Lelaki dengan Perempuan Ajnabi
2.1 Analisis Hadits Abu Hurairah ra. tentang Beberapa Macam Zina
Dalam hadits muttafaqun ‘alaih ini, disebutkan sabda Rasulullah sas.: وَ الْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ (dan tangan itu zinanya adalah menyentuh).
Lafal الْبَطْشُ diterangkan oleh Abu Ath-Thayyib dengan اْلأَخْذُ وَ اللَّمْسُ (memegang dan menyentuh). Ulama menyatakan bahwa contoh zina tangan adalah menyentuh/memegang perempuan . Karena berjabat tangan termasuk persentuhan, maka dapat disimpulkan bahwa berjabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi itu dilarang.
Hadits ini shahih, sehingga dapat dijadikan sebagai dalil. Wallahu A’lam.
2.2 Analisis Hadits Ma'qil Bin Yasar ra. tentang Siksaan untuk Lelaki yang Menyentuh Perempuan Ajnabi
َلأَنْ يُطْعَنَ فِى رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ, خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
Adanya siksa bagi orang yang menyentuh lawan jenisnya yang ajnabi sebagaimana difaham dari hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah suatu kemaksiatan, sebab Allah AwJ. tidak akan menyiksa seseorang kecuali karena kemaksiatan yang ia lakukan.
Adapun hubungan hadits ini dengan masalah jabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi sangatlah jelas, yaitu bahwa jabat tangan termasuk penyentuhan. Jadi, hadits ini berisi ancaman siksa bagi orang yang menjabat tangan lawan jenisnya, yaitu lawan jenis yang bukan mahramnya. Adapun lawan jenis yang mahram, karena ia halal disentuh, maka tidak termasuk dalam pembicaraan ini, sebagaimana diketahui dari lafal لاَ تَحِلُّ لَهُ dalam hadits ini. Hadits ini hasan; dapat dijadikan sebagai dalil. Wallahu A’lam.
2.3 Analisis Hadits 'Aisyah ra. tentang Bai’at Rasulullah sas. dengan Para Perempuan
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يُبَايِعُ النِّسَاءَ بِالْكَلاَمِ … وَ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ إِلاَّ امْرَأَةً يَمْلِكُهَا.
Dari ucapan ‘Aisyah ra. dalam hadits muttafaqun ‘alaih di atas, difaham bahwa Nabi sas. membai’at perempuan hanya secara lisan, dan bahwa tangan beliau tidak pernah menyentuh tangan seorang perempuan pun selain istri, anak, atau budak beliau.
Telah dimaklumi bahwa jabat tangan adalah sesuatu yang biasa dilakukan dalam bai’at. Namun demikian, ternyata Nabi sas. tidak melakukannya bila yang membai’at adalah perempuan, sebagaimana disebutkan dalam hadits ini. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa jabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi itu tidak disyari’atkan, sekalipun pada waktu yang biasanya dilakukan jabat tangan, seperti bai’at. Karena itu, ketika bertemu, berkunjung, dan lain-lain, lelaki tidak boleh berjabat tangan dengan perempuan ajnabi.
Jadi, hadits muttafaqun ‘alaih ini dapat dijadikan sebagai dalil bahwa berjabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi itu tidak boleh. Wallahu A’lam.
2.4 Analisis Hadits Ibrahim An-Nakha’i tentang Berjabat Tangan Rasulullah sas. dengan Para Perempuan dalam Bai’at
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يُصَافِحُ النِّسَاءَ وَ عَلَى يَدِهِ ثَوْبٌ.
Hadits ini menunjukkan bahwa lelaki boleh berjabat tangan dengan perempuan ajnabi bila terdapat kain yang menghalangi persentuhan langsung antara kedua telapak tangan mereka. Namun karena hadits ini dla’if, maka tidak dapat dijadikan sebagai dalil.
Tentang riwayat–riwayat yang menceritakan bahwa Nabi sas. berjabat tangan dengan perempuan ketika bai’at dengan melapiskan kain pada tangan, Al-Albani menyatakan:
... قَدْ رُوِيَ فِى ذلِكَ بَعْضُ الرِّوَايَاتِ اْلأُخْرَى, وَ لكِنَّهَا مَرَاسِيْلُ كُلُّهَا, ذَكَرَهَا الْحَافِظُ فِى الْفَتْحِ (8/488), فَلاَ يُحْتَجُّ بِشَيْئٍ مِنْهَا, لاَ سِيَّمَا وَ قَدْ خَالَفَتْ مَا هُوَ أَصَحُّ مِنْهَا, كَهذَا الْحَدِيْثِ وَ اْلآتِي بَعْدَهُ, وَ كَحَدِيْثِ عَائِشَةَ فِى مُبَايَعَتِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لِلنِّسَاءِ قَالَتْ : (( وَ لاَ وَ اللهِ مَا مَسَّتْ يَدُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ فِي الْمُبَايَعَةِ, مَا بَايَعَهُنَّ إِلاَّ بِقَوْلِهِ : قَدْ بَايَعْـتُكِ عَلَى ذلِكَ )). أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ.
… telah diriwayatkan dalam hal itu (bahwa Nabi sas. berjabat tangan dengan perempuan ketika bai’at, dengan melapiskan kain pada tangan) sebagian riwayat-riwayat yang lain, namun semuanya mursal – Al-Hafidh (Ibnu Hajar) telah menyebutkan riwayat-riwayat itu dalam Al-Fath (8/488) –, sehingga tidak ada satu pun dari riwayat-riwayat tersebut yang dapat digunakan sebagai hujah, lagi pula itu menyelisihi apa yang lebih shahih daripada riwayat-riwayat itu, seperti hadits ini (yaitu hadits Umaimah ra. ) dan hadits berikutnya (yaitu hadits ‘Abdullah bin ‘Amr ra. ), juga seperti hadits ‘A`isyah ra. tentang pembai’atan Nabi sas. terhadap para perempuan, dia berkata, “Sungguh demi Allah, tidaklah tangan beliau sas. itu menyentuh tangan seorang perempuan pun ketika bai’at. Tidaklah beliau membai’at mereka kecuali dengan sabda beliau, “Sungguh aku telah membai’at kamu atas hal itu”. Al-Bukhari telah mengeluarkannya.
Riwayat-riwayat dalam Al-Fath yang dimaksud di atas adalah :
1. Hadits Asy-Sya’bi.
2. Hadits An-Nakha’i.
3. Hadits Qais bin Abi Hazim.
Hadits Asy-Sya’bi adalah hadits mursal, karena diriwayatkan oleh tabi’i yang bernama Asy-Sya’bi dari Nabi sas. secara langsung.
Hadits An-Nakha’i yang dimaksud dalam Al-Fath adalah hadits An-Nakha’i yang sedang dibahas dalam analisis ini.
Hadits Qais bin Abi Hazim adalah hadits mursal, karena diriwayatkan oleh tabi’i yang bernama Qais bin Abi Hazim dari Nabi sas. secara langsung.
Penulis mendapatkan satu riwayat lain yang semakna dengan ketiga riwayat di atas, yaitu riwayat Thariq At-Taimi. Hadits ini juga mursal, karena diriwayatkan oleh tabi’i yang bernama Thariq At-Taimi secara langsung dari Nabi sas.
Berdasarkan data-data di atas, penulis setuju dengan pendapat Al-Albani bahwa riwayat-riwayat tentang berjabat tangan Nabi Muhammad sas. dengan perempuan ketika bai’at dalam keadaan melapisi tangan beliau dengan kain itu tidak dapat dijadikan hujah. Wallahu A’lam.
2.5 Analisis Hadits Asma` Binti Yazid ra. tentang Bai’at Rasulullah sas. terhadap Para Perempuan
Dalam hadits yang dla’if ini disebutkan bahwa Asma` ra. berkata kepada Nabi sas. ketika bai’at: أَلاَ تَحْسُرُ لَنَا عَنْ يَدِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ (Tidak-kah Anda singkap (saja kain itu) dari tanganmu wahai Rasulullah?), yang dapat menimbulkan paham bahwa Nabi sas. ketika itu menjabat tangan para perempuan dengan berlapiskan kain pada tangan, sehingga Asma` ra. menanyakan apakah kain itu tidak disingkap saja.
Karena hadits ini dla’if, maka tidak dapat dijadikan dalil untuk membolehkan jabat tangan antar lawan jenis yang ajnabi dengan tangan yang berlapis kain. Wallahu A’lam.
2.6 Analisis Hadits Abu Umamah ra. tentang Keburukan Berdesakan Lelaki dengan Perempuan Ajnabi
Dalam hadits yang menerangkan buruknya berdesakan dengan lawan jenis yang ajnabi ini disebutkan:
وَلَيَزْحَمُ رَجُلٌ خِنْزِيْرًا مُتَلَطِّخًا بِطِيْنٍ أَوْ حَمْأَةٍ, خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَزْحَمَ مَنْكِبُهُ مَنْكِبَ امْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ.
Ini menunjukkan bahwa bersentuhan dengan lawan jenis itu buruk. Berangkat dari pemikiran ini, dapat dinyatakan bahwa berjabat tangan dengan lawan jenis adalah suatu keburukan, sebab termasuk persentuhan.
Namun karena hadits ini dla’if, maka tidak dapat dijadikan hujah untuk menunjukkan buruknya bersentuhan (termasuk jabat tangan) dengan lawan jenis yang ajnabi. Wallahu A’lam.
2.7 Analisis Hadits 'Abdullah Bin Abu Zakariyya ra. tentang Pedihnya Siksaan untuk Lelaki yang Menyentuh Perempuan Ajnabi
(( َلأَنْ يُقْرَعَ الرَّجُلُ قَرْعًا يَخْلُصُ الْقَرْعُ إِلَى عَظْمِ رَأْسِهِ, خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ تَضَعَ امْرَأَةٌ يَدَهَا عَلَى سَاعِدِهِ, لاَ تَحِلُّ لَهُ )).
Hadits dla’if ini menunjukkan beratnya siksa bagi lelaki yang menyentuh perempuan ajnabi. Karena hadits ini dla’if, maka tidak dapat dijadikan hujah. Wallahu A’lam.
2.8 Analisis Hadits Anas bin Malik ra. tentang Budak Perempuan Milik Penduduk Madinah
كَانَتِ اْلأَمَةُ مِنْ إِمَاءِ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ لَتَأْخُذُ بِيَدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَتَنْطَلِقُ بِهِ حَيْثُ شَائَتْ
Ulama berbeda pendapat dalam memahami lafal تَأْخُذُ بِيَدِ رَسُوْلِ اللهِ di atas. Al-Qaradlawi mengartikan lafal tersebut dengan memegang tangan Rasulullah . Pengartian ini sesuai dengan apa yang disebutkan dalam kamus bahasa Arab, bahwa salah satu arti أَخَذَ adalah أَمْسَكَ (memegang). Jadi, arti memegang untuk kata تَأْخُذُ adalah arti asal/arti hakiki.
Sedang Ibnu Hajar dalam menerangkan maksud lafal tersebut mengatakan:
وَ التَّعْبِيْرُ بِاْلأَخْذِ بِالْيَدِ إِشَارَةٌ إِلَى غَايَةِ التَّصَرُّفِ, حَتىَّ لَوْ كَانَتْ حَاجَتُهَا خَارِجَ الْمَدِيْنَةِ وَ الْتَمَسَتْ مِنْهُ مُسَاعَدَتَهَا فِى تِلْكَ الْحَاجَةِ لَسَاعَدَ عَلَى ذلِكَ.
Penggunaan istilah اْلأَخْذِ بِالْيَدِ (itu untuk) menunjukkan puncak tindakan, sehingga meskipun keperluan budak perempuan itu (harus diselesaikan) di luar Madinah, dan ia meminta beliau supaya membantunya dalam keperluan tersebut, sungguh pastilah beliau (mau) membantu untuk (menyelesaikan)nya.
Al-Kirmani menyatakan hal yang semakna dengan keterangan di atas .
Ringkasnya, maksud تَأْخُذُ بِيَدِ رَسُوْلِ اللهِ menurut keterangan di atas, bahwa budak perempuan itu meminta bantuan Nabi sas. untuk menyelesaikan keperluannya. Pengartian ini adalah arti majasi.
Dalam kaidah ushul fiqih disebutkan:
الْحَقِيْقَةُ أَصْلٌ . فَمَهْمَا أَمْكَنَ, لاَ يَصِحُّ الْعُدُوْلُ عَنْهُ .
“(Arti) hakikat (adalah arti) asal. Maka kapan saja (penggunaan arti hakikat itu) memungkinkan, tidak benar dipalingkan darinya (kepada arti lain)”.
Jadi, mengartikan sesuatu dengan arti hakiki itu didahulukan daripada arti majasi, kecuali bila penggunaan arti hakiki tidak memungkinkan.
Menurut penulis, تَأْخُذُ بِيَدِ di atas tidak bisa diartikan dengan arti hakikinya (yaitu memegang tangan), karena pertimbangan bahwa: bilaتَأْخُذُ بِيَدِ diartikan secara hakiki, berarti Nabi sas. membiarkan budak perempuan penduduk Madinah memegang tangan beliau. Hal ini bertolak belakang dengan penolakan beliau atas permintaan para perempuan untuk berjabat tangan dengan mereka dalam bai’at, juga bertentangan dengan keumuman ucapan 'Aisyah: “Sama sekali tangan beliau tidak menyentuh tangan seorang perempuan pun selain perempuan yang beliau miliki”. Dengan demikian, pengartian secara hakiki di atas tidak dapat diterima. Wallahu A’lam.
2.9 Analisis Hadits Anas Bin Malik ra. tentang Persentuhan antara Rasulullah sas. dengan Ummu Haram ra.
Hadits shahih ini dengan tegas menceritakan bahwa Nabi sas. bersentuhan dengan Ummu Haram ra., yaitu ketika kepala beliau ditelisik oleh Ummu Haram ra. Ulama berselisih pendapat tentang hubungan Ummu Haram ra. dengan Nabi sas. Bila ia termasuk mahram Nabi sas, maka tidak ada masalah yang perlu dibahas dalam hal ini. Namun bila tidak, tentu timbul pertanyaan, “Kenapakah Nabi sas. bersentuhan dengannya?”
Pendapat bahwa Ummu Haram ra. termasuk mahram, ditolak oleh Ad-Dimyathi karena tidak sesuai dengan kenyataan. Adapun pertanyaan di atas, terjawab oleh pendapat Ibnu Hajar bahwa hal itu merupakan suatu kekhususan bagi Nabi sas. Pendapat ini ditolak oleh Al-Qadli ‘Iyadl dengan argumen bahwa kekhususan bagi Nabi sas. tidak dapat ditetapkan dengan sesuatu yang mengandung unsur kemungkinan. Penolakan ini disangkal oleh Ibnu Hajar dengan menegaskan bahwa pendapat yang ia pilih tersebut tidak dapat ditolak dengan argumen seperti itu, karena dalil bahwa hal itu merupakan kekhususan bagi Nabi sas. amat jelas . Al-Qaradlawi setelah mengutip ucapan Ibnu Hajar tersebut dalam buku fatwanya, berkomentar:
Namun saya tidak tahu mana dalilnya ini, samar-samar ataukah jelas?
Selanjutnya Al-Qaradlawi menetapkan suatu kesimpulan dari kejadian persentuhan tersebut bahwa:
Semata-mata bersentuhan kulit tidaklah haram. Apabila didapati sebab-sebab yang menjadikan percampuran (pergaulan) seperti yang terjadi antara Nabi sas. dengan Ummu Haram dan Ummu Sulaim serta aman dari fitnah bagi kedua belah pihak, maka tidak mengapalah berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan ketika diperlukan, seperti ketika datang dari perjalanan jauh, seorang kerabat laki-laki berkunjung kepada kerabat wanita yang bukan mahramnya atau sebaliknya, seperti anak perempuan paman atau anak perempuan bibi baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, atau istri paman, dan sebagainya, lebih-lebih jika pertemuan itu setelah lama tidak berjumpa.
Penulis tidak setuju dengan jawaban Al-Qaradlawi terhadap pendapat Ibnu Hajar di atas, karena terdapat keterangan sebagai berikut :
تَقَرَّرَ فيِ اْلأُصُوْلِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا فَعَلَ فِعْلاً لَمْ يُصَاحِبْهُ دَلِيْلٌ خَاصٌّ يَدُلُّ عَلَى التَّـأَسِّي بِهِ فِيْهِ, كَانَ مُخَصَّصًا لَهُ عَنْ عُمُوْمِ الْقَوْلِ الشَّامِلِ لَهُ بِطَرِيْقِ الظُّهُوْرِ.
Telah menjadi keputusan dalam (ilmu) ushul fiqih, bahwa Nabi sas. itu bila melakukan suatu perbuatan yang tidak disertai (adanya) dalil khusus yang menunjukkan diikutinya beliau dalam (melakukan perbuatan) itu, (berarti perbuatan) itu merupakan sesuatu yang dikhususkan untuk beliau dari keumuman ucapan (nash) yang secara lahir mencakup beliau.
Dalam hal ini, terdapat nash yang melarang persentuhan lelaki dan perempuan (yaitu hadits Ma’qil ra.), dan larangan tersebut secara lahir mencakup/berlaku juga untuk Nabi sas. selain berlaku untuk umat beliau. Hadits tersebut berisi ancaman terhadap lelaki yang menyentuh perempuan ajnabi. Jadi, Nabi sas. termasuk dalam pengertian lelaki yang disebutkan pada hadits tersebut, sebab beliau juga seorang lelaki. Sehingga, persentuhan antara Nabi sas. dengan Ummu Haram ra. secara lahir bertentangan dengan hadits ini. Karena itulah, sesuai keputusan dalam ushul fiqih di atas, diperlukan adanya dalil khusus yang menunjukkan bahwa beliau tetap merupakan tauladan bagi umatnya dalam hal persentuhan tersebut. Namun, karena belum menemukan dalil khusus tersebut, penulis menetapkan bahwa persentuhan Nabi sas. dengan Ummu Haram ra. itu merupakan kekhususan bagi Nabi sas., sebagaimana pendapat Ibnu Hajar yang telah penulis uraikan di atas. Wallahu A’lam.

3. Analisis Pendapat Ulama tentang Berjabat Tangan Lelaki dengan Perempuan Ajnabi
Ada dua pendapat Ulama dalam hal ini, sebagaimana telah penulis kemukakan pada bab IV.
Pendapat pertama menunjukkan bahwa persentuhan lelaki dengan perempuan ajnabi itu haram.
Pendapat kedua membatasi keharaman persentuhan tersebut dengan beberapa hal. Sebagian Ulama mengharamkannya bila hal itu dilakukan dengan adanya syahwat. Sebagian yang lain mengharamkannya pada perempuan muda.
3. 1 Analisis Pendapat Pertama
Pendapat ini sesuai dengan dhahir hadits Ma’qil ra. yaitu:
َلأَنْ يُطْعَنَ فِى رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ.
Pada hadits tersebut, lafal يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ (menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya) bersifat umum; tanpa penjelasan tentang bagaimana cara menyentuh atau tentang muda atau tuanya perempuan yang disentuh. Berdasarkan keumuman lafal hadits tersebut dapat dipahami bahwa menyentuh perempuan itu menjadikan seorang lelaki akan mendapatkan siksa Allah AwJ., baik persentuhan tersebut dilakukan dengan syahwat maupun tidak, dengan perempuan ajnabi muda maupun tua, dalam bai’at atau selainnya, dengan melapiskan kain pada tangan maupun tidak, dan seterusnya. Dalam hal ini penulis belum mendapatkan dalil yang membatasi keumuman lafal hadits ini. Menurut penulis pendapat pertama ini dapat diterima.
3. 2 Analisis Pendapat Kedua
Menurut penulis, pendapat kedua tidak dapat diterima karena bertentangan dengan dhahir hadits Ma’qil ra. di atas. Membatasi keharaman menyentuh lawan jenis yang ajnabi jika disertai syahwat, kekhawatiran terjadinya fitnah, atau dengan batasan-batasan lainnya, berarti telah memalingkan makna dhahir hadits Ma’qil ra. di atas. Penulis belum mendapatkan dalil yang dapat dijadikan hujah untuk memalingkan makna dhahir hadits tersebut, sehingga tidak menerima pendapat kedua ini.
Hasbi Ash-Shiddiqi menyatakan keharaman persentuhan lelaki dengan perempuan ajnabi jika dilakukan dengan syahwat. Hasbi berhujah bahwa pandangan antar lawan jenis yang dilarang pada surah An-Nur (24): 3 adalah pandangan yang dilakukan dengan disertai syahwat, sehingga persentuhan antar lawan jenis yang dapat difaham keterlarangannya dari ayat tersebut adalah persentuhan yang dilakukan dengan disertai syahwat pula . Pendapat ini tidak dapat diterima, mengingat adanya hadits shahih berikut:
قَالَ جَرِيرٌ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ نَظْرَةِ الْفَجْأَةِ, فَأَمَرَنِي أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِي
Jarir berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah sas. tentang pandangan secara tiba-tiba, maka beliau pun menyuruhku untuk memalingkan pandanganku.
Pandangan secara tiba-tiba yang tanpa sengaja dan tidak karena syahwat itu dilarang oleh Nabi sas. untuk diteruskan. Oleh karena itu dapat diambil kesimpulan bahwa pada prinsipnya dilarang memandang lawan jenis tanpa keperluan yang diperbolehkan dalam syari’at Islam.
Adapun dalil yang dijadikan dasar untuk mengharamkan jabat tangan tersebut pada perempuan muda saja adalah riwayat tentang Abu Bakr ra. yang berjabat tangan dengan para perempuan lanjut usia, serta riwayat tentang ‘Abdullah bin Zubair ra. yang mengupah seorang perempuan tua untuk merawatnya di kala sakit, menyelisik kepala, dan memijatnya.
Kedua riwayat di atas hanya penulis dapatkan pada sebuah kitab
fiqih yang tidak menyertakan sanad maupun derajatnya, sehingga penulis tidak mempergunakannya sebagai dalil untuk membolehkan jabat tangan antara lelaki dengan perempuan ajnabi lanjut usia.
Adapun dalil yang dijadikan dasar untuk membatasi keharaman berjabat tangan tersebut dengan “kekhawatiran terjadinya fitnah pada salah satu dari kedua belah pihak yang melakukan jabat tangan”, tidak penulis dapatkan sepanjang penelitian, sehingga paham ini tidak penulis terima.
Berangkat dari semua pengertian yang telah penulis uraikan di atas, penulis sependapat dengan ulama yang menyatakan bahwa berjabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi itu haram secara mutlak, yaitu baik dilakukan dengan persentuhan antar kulit secara langsung maupun tidak, dan dilakukan dengan perempuan muda maupun perempuan tua. Wallahu A’lam.
BAB VI
P E N U T U P

1. Kesimpulan
Hukum berjabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi adalah haram.

2. Saran-Saran
a. Lelaki muslim dan perempuan muslimah jangan sekali-kali berjabat tangan dengan lawan jenis yang ajnabi.
b. Lelaki muslim dan perempuan muslimah bila diajak berjabat tangan oleh lawan jenis yang ajnabi, hendaklah menolaknya dengan halus.
c. Hendaklah Nabi Muhammad sas. dijadikan sebagai teladan dalam segala hal, termasuk tidak berjabat tangan dengan perempuan ajnabi.
وَ اللهُ تَعَالَى أَعْلَمُ وَ عِلْمُهُ أَتَمُّ. وَ الْحَمْدُ ِللهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ. 


LAMPIRAN
DERAJAT HADITS-HADITS

1. Hadits Abu Hurairah ghafarallahu lahu wa ummih tentang Beberapa Macam Zina
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits ini dalam kitab shahih mereka. Hadits yang demikian ini disebut hadits muttafaqun ‘alaih, dan berderajat shahih pada peringkat pertama .
2. Hadits Ma'qil Bin Yasar ra. tentang Siksaan untuk Lelaki yang Menyentuh Perempuan Ajnabi
Tentang hadits ini, penulis menyadur keterangan Al-Albani ketika melakukan takhrij terhadap hadits ini, dengan hasil saduran sebagai berikut:
Hadits ini diriwayatkan oleh Ar-Ruyani dalam Musnadnya, dengan sanad berikut ini:
1. Nashr bin ‘Ali
2. Bapak Nashr bin ‘Ali
3. Syaddad bin Sa’id
4. Abul ‘Ala’
5. Ma’qil bin Yasar ra.
Sanad ini adalah sanad yang jayyid; semua perawinya tsiqat dan termasuk para perawi di dalam Ash-Shahihain, selain Syaddad bin Sa’id yang hanya termasuk perawi di dalam Shahih Muslim. Tentang perawi ini terdapat sedikit pembicaraan, namun hal itu tidak menyebabkan derajat haditsnya lebih rendah dari derajat hasan. Karena itulah, Muslim hanya mengeluarkan haditsnya sebagai syahid. Tentang Syaddad ini Adz-Dzahabi berkomentar, “Dia adalah perawi shalihul hadits”, sedang Ibnu Hajar berkata, “Dia seorang perawi shaduq yukhthi`”
Hadits ini dimuat oleh Al-Mundziri di dalam At-Targhib, lalu dikomentari sebagai berikut, “Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi. Para perawi dalam sanad Ath-Thabarani adalah orang-orang tsiqat”.
Penulis telah melakukan penelitian di dalam kitab-kitab Rijal terhadap para perawi dalam sanad Ar-Ruyani di atas, dan mendapatkan bahwa mereka adalah para perawi tsiqat dan termasuk para perawi dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, selain Syaddad bin Sa’id yang hanya tercantum satu kali di dalam Shahih Muslim, yaitu pada sanad hadits Abu Burdah ra.
Berdasarkan penelitian di atas penulis setuju dengan pendapat Al-Albani bahwa sanad hadits ini jayyid. Selanjutnya penulis menyimpulkan bahwa hadits ini hasan. Wallahu A’lam.
3. Hadits 'Aisyah ra. tentang Pembai’atan Nabi Muhammad sas. terhadap Para Perempuan
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits ini dalam kitab shahih mereka. Hadits yang demikian ini disebut hadits muttafaqun ‘alaih, dan berderajat shahih pada peringkat pertama.
4. Hadits Ibrahim An-Nakha’i tentang Berjabat Tangan Nabi Muhammad sas. dengan Para Perempuan
Hadits ini diriwayatkan oleh An-Nakha’i, seorang tabi’i, secara langsung dari Nabi Muhammad sas. Jadi hadits ini mursal. Hadits mursal adalah hadits dla’if.
5. Hadits Asma` Binti Yazid ra. tentang Bai’at antara Nabi Muhammad sas. dengan Para Perempuan
Urut-urutan perawi pada sanad hadits ini dalam Musnad Ahmad adalah:
1. Hasyim bin Al-Qasim
2. ‘Abdul Hamid
3. Syahr bin Hausyab
4. Asma` binti Yazid ra.
Semua perawi di atas tsiqat, kecuali Syahr bin Hausyab. Dia adalah Syahr bin Hausyab Al-Asy’ari Asy-Syami, bekas budak Asma` binti Yazid bin As-Sakan ra. Dia adalah perawi shaduq, namun sering memursalkan hadits dan sering waham . Waham yang sering ini termasuk pokok-pokok penyebab tercelanya perawi atau tertolaknya riwayat darinya .
Berdasarkan data di atas, penulis menyimpulkan bahwa hadits Asma` ra. ini dla’if. Wallahu A’lam.
6. Hadits Abu Umamah ra. tentang Keburukan Berdesakan antara Lelaki dengan Perempuan Ajnabi
Sanad hadits ini sebagai berikut:
1. Yahya
2. Sa’id
3. ‘Abdullah bin Zahr
4. ‘Ali bin Yazid
5. Al-Qasim
6. Abu Umamah ra.
Perawi yang menjadi pembicaraan dalam sanad hadits ini adalah ‘Ali bin Yazid. Dia adalah ‘Ali bin Yazid bin Abi Hilal Al-Alhani Ad-Dimasyqi . Dia adalah perawi dla’if .
Berdasarkan data di atas penulis menyimpulkan bahwa hadits Abu Umamah ra. ini dla’if. Wallahu A’lam.

7. Hadits 'Abdullah Bin Abu Zakariyya tentang Pedihnya Siksaan untuk Lelaki yang Menyentuh Perempuan Ajnabi
Urut-urutan perawi dalam sanad hadits ini adalah:
1. Sa’id
2. Husyaim
3. Dawud bin ‘Amr
4. ‘Abdullah bin Abi Zakariyya Al-Khuza’i
Perawi yang menjadi pembicaraan dalam sanad hadits ini adalah ‘Abdullah bin Abi Zakariyya Al-Khuza’i. Dia seorang tabi’i pakar fiqih yang tsiqat. Dalam sanad ini dia meriwayatkan langsung dari Nabi Muhammad sas., sehingga hadits ini adalah hadits mursal. Hadits mursal berderajat dla’if.
Berdasarkan data di atas penulis menyimpulkan bahwa hadits ini dla’if. Wallahu A’lam.

8. Hadits Anas Bin Malik ra. tentang Budak Perempuan Penduduk Madinah
Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab shahih nya.

9. Hadits Anas Bin Malik ra. tentang Persentuhan antara Nabi Muhammad sas. dengan Ummu Haram ra.
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits ini dalam kitab shahih mereka. Hadits yang demikian ini disebut hadits muttafaqun ‘alaih, dan berderajat shahih pada peringkat pertama.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mushhaf Al-Qur`an Al-Karim.
2. Kelompok Kitab Tafsir Al-Qur`an:
Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir Ibni Katsir, Ruh Al-Ma’ani, Tafsir An-Nasafi, Fath Al-Qadir, Ruh Al-Bayan, Tafsir Al-Maraghi, Adlwa` Al-Bayan, Shafwah At-Tafasir, Al-Furqan.
3. Kelompok Kitab Hadits:
Al-Muwaththa`, Al-Musnad, Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan An-Nasa`I, Sunan Ibnu Majah, Sunan Ad-Darimi, Sunan Sa’id Bin Manshur, Musnad Al-Humaidi, Ath-Thabaqat Al-Kubra, Al-Mushannaf, Al-Mu’jam Al-Kabir, Syu’ab Al-Iman, Al-Firdaus, At-Targhib, Ash-Shahihah.
4. Kelompok Kitab Syarah Hadits:
Fath Al-Bari, Al-Kawakib Ad-Darari (Syarh Al-Kirmani), ‘Aun Al-Ma’bud, ‘Aridlah Al-Ahwadzi, Dalil Al-Falihin, Bulugh Al-Amani min Asrar Fath Ar-Rabbani, Nahr Al-Khair ‘ala Aisar At-Tafsir, Nuzhah Al-Muttaqin,
5. Kelompok Kitab Fiqih:
Al-Hidayah Syarh Bidayah Al-Mubtadi, Nata`ij Al-Afkar fi Kasyf Ar-Rumuz wa Al-Asrar, Nail Al-Authar min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar.
6. Kelompok Kitab Mushthalah Hadits & Rijalul Hadits:
Tahdzib At-Tahdzib, Taqrib At-Tahdzib, Taisir Mushthalah Al-Hadits, Ilmu Mushthalah Hadits.
7. Kelompok Kitab Kamus:
Al-Qamus Al-Muhith, Al-Munjid fi Al-Lughah, Al-Mu’jam Al-Wasith.
8. Kitab-kitab Lain:
1) At-Tafsir wa Al-Mufassirun, 2) Minhaj Al-Muslim fi Al-‘Aqa`id wa Al-’Ibadat wa Al-Mu’amalat, 3) Berjabat Tangan dengan Perempuan (Diterjemahkan dari Adillah Tahrim Mushafahah Al-Mar`ah Al-Ajnabiyah), 4) Fatwa-Fatwa tentang Memandang Berkhalwat dan Berbaurnya Pria dan Wanita (diterjemahkan dari Fatawa An-Nadzar wa Al-Khalwah wa Al-Ikhtilath), 5) Fatwa-Fatwa Kontemporer (diter-jemahkan dari Hadyu Al-Islam Fatawa Mu’ashirah), 6) Berjabatan Tangan dengan Perempuan, 7) Terjemah Irsyadul ‘Ibad Panduan ke Jalan Kebenaran, 8) Metodologi Riset, 9) Metodologi Research.

Cp. Penulis: 0878 3601 3279 (Mochamed Abu Zaidan al-Mahfouzh)

posted under |

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

(PILIHLAH JAWABAN YANG BENAR) 2 x 2 : 2 + 2 - 2 = ...

Followers


Recent Comments